Sejak tahun 2014, saya terlibat dalam gerakan pelestarian dan pengembangan
aksara Carakan Jawa. Apa yang awalnya dimulai sebagai upaya untuk menjaga
kekayaan budaya ini segera berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan
mendalam. Pengalaman selama hampir satu dekade ini mengajarkan saya bahwa
perjuangan untuk menjaga eksistensi aksara Carakan Jawa, dan aksara-aksara
Nusantara lainnya, bukanlah semata-mata soal kebudayaan. Ini adalah perjuangan
hukum dan pengakuan oleh negara.
Gerakan ini sering kali disalahpahami sebagai
usaha konservatif yang hanya berfokus pada aspek kebudayaan. Memang, menjaga
aksara kuno seperti Carakan Jawa adalah bagian penting dari melestarikan
identitas budaya lokal. Namun, kita tidak bisa berhenti di situ. Ada dimensi
lain yang lebih luas, yakni pengakuan dan perlindungan hukum yang harus
diperjuangkan. Aksara-aksara tradisional Nusantara bukan hanya warisan
kebudayaan, tetapi juga bagian dari hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas
bahasa dan ekspresi budaya.
Di tengah globalisasi dan arus modernisasi yang
semakin kuat, aksara-aksara ini sering terpinggirkan, baik dalam pendidikan
formal maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi kita
untuk mendorong negara agar mengakui secara resmi keberadaan aksara-aksara
Nusantara, termasuk Carakan Jawa, di dalam kerangka hukum dan kebijakan
nasional. Ini termasuk pengakuan dalam undang-undang, kurikulum pendidikan,
hingga ruang publik yang lebih luas, seperti dokumen resmi dan layanan
pemerintah.
Sampai hari ini saya masih merancang dan menjalankan beberapa
kegiatan, dari mengajarkan aksara Carakan kepada generasi muda,
pelatihan-pelatihan aksara carakan, kajian serat, digitalisasi manuskrip,
hingga memperjuangkan agar aksara ini diakui dalam ranah digital dan
teknologi. Tantangan yang dihadapi tidaklah ringan, mulai dari kurangnya
pemahaman hingga minimnya perhatian dari pemerintah. Namun, langkah-langkah
kecil yang diambil telah membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar.
Menyadari bahwa pelestarian aksara tradisional membutuhkan dukungan yang lebih
kuat dari negara, saya rasa gerakan ini tidak berhenti hanya berfokus pada
aspek kultural. Diperlukan adanya dorongan ke arah advokasi di ranah kebijakan
publik, berupaya agar aksara Carakan Jawa dan aksara-aksara lainnya di
Nusantara memiliki status yang diakui secara resmi. Oleh karena itu menjadi
penting memperjuangkannya, agar aksara-aksara ini diintegrasikan dalam sistem
hukum negara, sehingga keberadaannya dapat dilindungi dan diwariskan kepada
generasi mendatang dengan lebih terjamin.
Gerakan ini adalah upaya untuk
mengangkat identitas bangsa dalam wujud yang lebih nyata dan berkelanjutan.
Pelestarian aksara Carakan Jawa, misalnya, tidak hanya soal mempertahankan
warisan leluhur, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial, hak-hak adat dan
kebudayaan yang lebih luas. Ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa
kekayaan budaya Nusantara tidak hanya dikenang dalam sejarah, tetapi tetap
hidup dan berkembang di masa depan.
*****
Jika kita merujuk pada Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan hukum tertinggi, tidak ada satu pun pasal yang
secara jelas menyebutkan perihal aksara, baik aksara Latin yang umum digunakan
maupun aksara Nusantara. Pasal 36 UUD 1945, yang membahas tentang bahasa,
hanya mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, pasal ini
tidak berbicara mengenai aksara yang digunakan dalam bahasa tersebut. Bahkan,
aksara Latin yang menjadi standar penulisan bahasa Indonesia saat ini tidak
diakui secara eksplisit dalam konstitusi maupun produk hukum lainnya sebagai
aksara resmi negara.
Ketika berbicara tentang bahasa, aksara adalah instrumen
penting yang tidak bisa diabaikan. Namun, sampai hari ini, produk hukum
pasca-UUD 1945, seperti Undang-Undang tentang Bahasa, Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, maupun berbagai Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur
tentang kebudayaan dan pendidikan, tidak ada satu pun yang memberikan
kejelasan atau pengakuan formal terhadap aksara yang digunakan di Indonesia.
Ini adalah sebuah kekosongan hukum yang menciptakan ketidakpastian bagi
pelestarian aksara-aksara di nusantara.
Ketidakhadiran regulasi yang mengatur
aksara secara khusus menimbulkan masalah serius, terutama bagi aksara-aksara
tradisional Nusantara seperti Carakan Jawa, Batak, Bugis, Bali, Dayak,
Lampung, Sunda, Sasak, Palembang dan lain-lain. Jangankan aksara Nusantara,
aksara Latin—yang sehari-hari kita gunakan untuk menulis Bahasa
Indonesia—tidak diakui secara resmi sebagai aksara persatuan dalam dokumen
hukum apapun bahkan di dalam UUD 1945 sekalipun. Hal ini menjadi ironi
tersendiri, mengingat bahasa sebagai alat komunikasi diakui, tetapi aksara
sebagai medium penyampaiannya justru diabaikan.
Kondisi ini menyisakan ruang
hampa bagi eksistensi aksara-aksara Nusantara di ranah hukum dan pendidikan.
Meskipun kita sering melihat upaya pelestarian aksara dalam kegiatan budaya,
festival, atau pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, aksara-aksara ini
tidak dilindungi oleh payung hukum yang kuat. Ketiadaan pengakuan formal ini
menyebabkan aksara Nusantara kehilangan legitimasi dan daya tawar dalam sistem
pendidikan nasional, di mana aksara Latin mendominasi tanpa perlu diakui
secara formal.
Jika negara serius dalam mengakui kekayaan budaya dan
kebahasaan Nusantara, maka aksara seharusnya masuk dalam kerangka hukum yang
lebih jelas. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
misalnya, sudah mulai menyentuh pelestarian aksara tradisional, tetapi belum
memberikan pengakuan formal atau mekanisme perlindungan hukum yang kuat.
Demikian juga dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan
Bahasa Indonesia, yang berfokus pada penggunaan bahasa dalam ranah publik,
tetapi tidak mencantumkan aksara sebagai bagian penting dari bahasa itu
sendiri.
Amandemen UUD 1945 dan Revisi Produk Hukum di Bawahnya
Dalam konteks
ini, langkah nyata yang perlu diambil adalah mengupayakan amandemen terhadap
UUD 1945 untuk secara eksplisit mengakui aksara sebagai bagian penting dari
identitas kebangsaan. Pasal 36 UUD 1945, khususnya di dalam Bab XV tentang
Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, seperti yang
termaktub dalam pasal 35 tentang Bendera, Pasal 36 tentang Bahasa, Pasal 36A
tentang Lambang Negara, Pasal 36B tentang Lagu Kebangsaan, dan dilanjutkan
pada Pasal 36C yang berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan
undang-undang”, yang saat ini hanya mengatur tentang Bahasa Indonesia,
sebaiknya direvisi untuk memasukkan pengakuan terhadap aksara yang digunakan
dalam bahasa nasional, serta memberikan ruang bagi pengakuan aksara-aksara
tradisional Nusantara.
Amandemen ini akan memberikan landasan konstitusional
bagi keberadaan aksara Nusantara dan menjadi dasar kuat untuk perumusan
regulasi di bawahnya. Dengan pengakuan konstitusional, negara tidak hanya
mengakui bahasa sebagai bagian dari identitas nasional, tetapi juga medium
penulisannya—aksara—yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi.
Selain amandemen UUD 1945, produk-produk hukum di bawahnya seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Bahasa, dan berbagai
Peraturan Pemerintah tentang Kebudayaan perlu direvisi untuk mengakomodasi
pengakuan formal terhadap aksara Nusantara. Diantara aspek-aspek yang penting
untuk direvisi antara lain: Pertama, Pengakuan dan Perlindungan Aksara. Aksara
Nusantara harus diakui secara resmi oleh negara sebagai bagian dari warisan
budaya dan kebahasaan yang dilindungi. Ini harus mencakup regulasi tentang
pelestarian, pembelajaran, dan pemanfaatan aksara dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Penggunaan Aksara dalam Sistem Pendidikan. Aksara Nusantara harus
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional, tidak hanya sebagai materi
muatan lokal, tetapi sebagai bagian penting dari pendidikan kebudayaan dan
sejarah nasional. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengajaran aksara sebagai
bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain yang relevan.
Ketiga, Aksara dalam Ruang Publik. Revisi juga perlu memperhatikan integrasi
aksara Nusantara dalam berbagai aspek kehidupan publik. Ini termasuk
penggunaannya dalam dokumen-dokumen resmi, papan nama jalan, dan berbagai
bentuk komunikasi visual lainnya yang memungkinkan aksara-aksara ini terus
hidup dalam ruang publik. Keempat, Pengembangan Teknologi dan Digitalisasi
Aksara. Negara juga perlu mendukung digitalisasi aksara Nusantara dan
pengembangannya dalam dunia teknologi, termasuk dalam perangkat lunak, situs
web, dan aplikasi yang memungkinkan masyarakat luas dapat menggunakan
aksara-aksara ini secara lebih luas dan modern.
Upaya amandemen dan revisi
hukum ini bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan langkah penting untuk
menjaga keberlanjutan aksara Nusantara di masa depan. Aksara bukan hanya alat
untuk mencatat sejarah, tetapi juga simbol kekayaan dan keragaman budaya yang
harus dipertahankan. Tanpa pengakuan dan perlindungan hukum yang jelas,
aksara-aksara tradisional kita akan semakin terpinggirkan dan lambat laun bisa
hilang dari kehidupan masyarakat.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan revisi
produk hukum di bawahnya, kita berharap aksara Nusantara, termasuk Carakan
Jawa, akan mendapatkan tempat yang layak dalam konstitusi negara, dihormati
dalam sistem hukum, dan dipelihara sebagai bagian integral dari warisan budaya
Indonesia.
Gerakan Pelestarian Aksara sebagai Bagian dari Ketahanan dan
Pertahanan NKRI
Selain dimensi kebudayaan dan hukum, gerakan pelestarian
aksara Nusantara, termasuk Carakan Jawa, memiliki relevansi yang lebih dalam,
yakni dalam konteks pertahanan dan ketahanan nasional. Identitas budaya dan
bahasa suatu bangsa adalah fondasi yang menopang persatuan dan keberlanjutan
negara. Dengan melestarikan aksara tradisional, kita menjaga aspek-aspek
penting dari kekayaan budaya Nusantara yang membentuk jati diri bangsa.
Dalam
era globalisasi dan homogenisasi budaya yang semakin kuat, mempertahankan
identitas nasional menjadi bagian dari strategi ketahanan nasional.
Aksara-aksara Nusantara bukan hanya sekadar warisan budaya yang estetis,
melainkan juga lambang kemandirian budaya yang menjadi bagian dari kekuatan
soft power Indonesia. Jika aksara Nusantara diabaikan, maka kita kehilangan
salah satu pilar penting yang menjaga keberagaman dan keunikan Indonesia di
antara negara-negara di dunia.
Gerakan ini juga relevan dalam konteks
pertahanan negara. Mengabaikan identitas budaya dan keaksaraan berarti
melemahkan daya tahan bangsa terhadap ancaman asimilasi budaya asing yang
dapat menggerus akar-akar kebangsaan kita. Pengakuan dan pelestarian aksara
Nusantara, selain menjadi bentuk penghargaan terhadap sejarah, juga merupakan
langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI. Dalam konteks ini, pelestarian
aksara adalah bagian dari strategi pertahanan non-militer yang memperkuat
kohesi sosial dan jati diri bangsa.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan
revisi produk hukum di bawahnya, serta perspektif ketahanan nasional yang
lebih luas, kita berharap aksara Nusantara, termasuk Carakan Jawa, akan
mendapatkan tempat yang layak dalam konstitusi negara, dihormati dalam sistem
hukum, dan dipelihara sebagai bagian integral dari warisan budaya dan
pertahanan Indonesia. Wallahu’alam.
Catatan Kaki:
UU No. 24 tahun 2009 Ttg
bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan, PP No. 66 Thn 1951 ttg
lambang negara, PP No. 40 Thn 1958 ttg bendera kebangsaan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Pengembangan, Pembinaan, Dan
Pelindungan Bahasa Dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. PP
No. 44 Thn 1958 Ttg Lagu Kebangsaan