In the moment of truth Baduraman Dorpi Parlindungan Siregar
Bertemu guru bila didasarkan pada rasa rindu seperti bertemu dengan mata air pengetahuan. Sebagai seorang murid, terbetik pula keinginan untuk mengritik guru. Tak lain, hanya untuk dikatakan bahwa si murid mengalami perkembangan. Sang guru pun akan mengerti dan dapat mengukur seberapa perkembangan itu dirasakannya.
Bertemu guru di senja yang berkeringat, seperti berada dalam ruang ujian. Tugas akhirmu masih jauh dari selesai. Kamu masih membutuhkan proses pendewasaan. Kamu masih harus berpikir tentang sebuah proses yang selalu perlu kau lewati. Dasarnya adalah, pengalamanmu masih jauh dari cukup untuk membuat sebuah rumah menjadi nyaman huni. Sebuah rumah dibangun bukan untuk ditinggali tapi dimaknai terus-menerus. Proses itu yang ditunggu seorang guru. Baginya, bukan tujuanmu yang akan dinilai. Tapi, bagaimana kau memaknai proses yang acap kali berubah-ubah.
Bertemu guru di senja yang remang, lebih dari tiga jam berbicara dan lebih banyak menyimak-mendengarkan celotehnya, cukup membosankan sekaligus mencoba memaksa diri untuk menerima kebaikan. Mungkin kita harus membiasakan diri belajar kebaikan dari cara-cara yang sungguh cukup menyiksa. Namun, akhirnya ketulusan akan datang juga jika kita merasa kurang dan memiliki kejembaran hati dan keluasan pikir bak samudra.
Bertemu guru, sekali lagi adalah bertemu dengan mata air pengalaman. Tempat dari mana kita menimba asal dari segala yang kita sebut pengetahuan. Bertemu guru, bertemu seorang sahabat yang kerelaan hatinya melebihi kemauan diri kita sendiri untuk menerimanya.
Bertemu guru, hatiku berkecamuk. Rasa capai perjalanan, kantuk dan lelah yang lungkrah seperti tak terasa. Aku lebih ingin disiram air pengetahuan. Sebab aku tahu, pengalaman guru lebih dari sekadar ilmu. Nasihat guru lebih dari sepotong gincu pemanis bibir agar dikatakan seksi. Ceramah guru tak ubahnya serbuan selongsong peluru. Ia begitu saja menghujam tepat di jantung kesadaran. Menohok pelahan masuk dalam urat nadi dan detak jantung. Suka atau tidak suka, nasihatmu kutelan. Kusimpan sebagai bahan ajar bagi diriku. Mungkin kelak aku menemukan diriku sendiri. Sebagaimana kau inginkan: what kind of Budha are you? (MKOBAY)
*****
What kind of Budha are you? Sudahkah kau sadari siapa dirimu sekarang? Seberapa pantas kau berada di sini? Seberapa besar dirimu hingga pantas berada di kuil yang cukup besar pula? Atau seberapa pantas dirimu berada dalam kuil kecil yang mungkin tak elok sebagai pajangan? Inti dari hidup, begitu Pak Dorpi, guruku memberi nasihatnya, kesadaran pada sebuah kepantasan. Pantas untuk berada di mana? Pantas untuk melakukan apa? Pantas untuk mengambil peran yang bagaimana? Pun, kepantasan untuk berapa di level mana dan apa saja.
WKOBAY mungkin soal kepantasan. Juga soal kepatutan personal. Menyadari diri sendiri dengan segala kelemahan dan kelebihan seperti sebuah perjalanan panjang pencarian terus menerus ‘siapa aku’ itu sendiri. Semua orang berusaha untuk menemukan. Semakin tinggi mendaki semakin tak menemukan puncak. Semakin jauh melangkah semakin menemukan hampa. Asal dari segala yang ada adalah ketiadaan itu sendiri. Pada titik itu, kemanusiaan kita diuji oleh konsistensi. Percaya pada proses itu sendiri bukan pada hasil akhirnya. Begitulah kalimat bijak yang selalu kita dengar.
WKOBAY akhirnya bukan soal seberapa besar dirimu merasa sebagai (patung) Budha yang sebesar apa, sehingga layak bagimu ditempatkan di mana. WKOBAY lebih merupakan sebuah kunci dari sekian pertanyaan yang harus kau cari jawabannya. Seperti kata guruku, bukan jawaban itu yang penting tapi kesungguhanmu untuk mencari dan merumuskan jawabanmu itu yang berharga.
*****
Bagiku, Pak Dorpi, guru sekaligus teman diskusi yang menggemaskan nan mencemaskan. Sebagai guru, ia terlalu banyak bicara dan sangat ingin didengar. Aku tak bisa menolak itu. Karena memang tak ada dalam hatiku keinginan menolaknya. Kubiarkan pengalamannya masuk dalam pengetahuanku. Ini soal pelajaran yang harus kuterima. Jika kamu ingin lebih dewasa belajarlah mendengar. Jika engkau ingin pintar belajarlah membaca. Membaca apapun (tak harus buku) mulai dari gerak bibir sampai isyarat dalam tubuhmu sendiri. Jika engkau ingin tahu pergilah kepada orang-orang yang kau anggap lebih mengerti. Pak Dorpi, memberikan sesuatu yang belum aku dapati: belajar menjadi pendengar adalah kunci seni kepemimpinan.
Ia yang mendorongku pada sebuah pengakuan. Memimpin bukan soal mengatur dan kuasa atas segala. Memimpin bukanlah soal ilmu pemerintahan apalagi memerintah. Memimpin pada akhirnya adalah melatih pendengaran kita. Peka dengar peka pada gejala. Seperti nasihat seorang Kiai penyair dari negeri garam, Madura, yang senantiasa kukagumi puisi-puisinya: “embun yang dikabarkan tak fasih gema,” begitu ungkapnya, “heningnya menyadap ribuan gejala”.
Setetes embun bukanlah apa-apa jika tertimpa sinar matahari pagi. Setetes embun menjadi lain artinya jika ia mendengar dengung dan sentuhan gema, yang mengantarkannya bertemu pada getaran. Namun, dalam keheningannya, embun tak ubahnya sebuah perekam peka pada setiap gerak dan perubahan yang berlangsung di sekitarnya. Begitulah, kumaknai pertemuan itu sebagai sebuah persentuhan antara seorang murid dan gurunya. Sebuah perjumpaan embun dan matahari yang tak mungkin melahirkan gempa.
Pembicaraan selalu tak menemukan batas akhirnya kecuali rasa lelah mulai mampir di kelopak mata. Perjalanan jauh menempuh tak kurang dari 300 km., memaksaku untuk berkata lain. Kali ini aku pamit segera. Kelak, jika masih ada hari setelah pertemuan itu, kurasa ada banyak cerita lagi yang membuka tema dari setiap pertemuan dan perjumpaan penuh nuansa.
Bertemu guru bila didasarkan pada rasa rindu seperti bertemu dengan mata air pengetahuan. Sebagai seorang murid, terbetik pula keinginan untuk mengritik guru. Tak lain, hanya untuk dikatakan bahwa si murid mengalami perkembangan. Sang guru pun akan mengerti dan dapat mengukur seberapa perkembangan itu dirasakannya.
Bertemu guru di senja yang berkeringat, seperti berada dalam ruang ujian. Tugas akhirmu masih jauh dari selesai. Kamu masih membutuhkan proses pendewasaan. Kamu masih harus berpikir tentang sebuah proses yang selalu perlu kau lewati. Dasarnya adalah, pengalamanmu masih jauh dari cukup untuk membuat sebuah rumah menjadi nyaman huni. Sebuah rumah dibangun bukan untuk ditinggali tapi dimaknai terus-menerus. Proses itu yang ditunggu seorang guru. Baginya, bukan tujuanmu yang akan dinilai. Tapi, bagaimana kau memaknai proses yang acap kali berubah-ubah.
Bertemu guru di senja yang remang, lebih dari tiga jam berbicara dan lebih banyak menyimak-mendengarkan celotehnya, cukup membosankan sekaligus mencoba memaksa diri untuk menerima kebaikan. Mungkin kita harus membiasakan diri belajar kebaikan dari cara-cara yang sungguh cukup menyiksa. Namun, akhirnya ketulusan akan datang juga jika kita merasa kurang dan memiliki kejembaran hati dan keluasan pikir bak samudra.
Bertemu guru, sekali lagi adalah bertemu dengan mata air pengalaman. Tempat dari mana kita menimba asal dari segala yang kita sebut pengetahuan. Bertemu guru, bertemu seorang sahabat yang kerelaan hatinya melebihi kemauan diri kita sendiri untuk menerimanya.
Bertemu guru, hatiku berkecamuk. Rasa capai perjalanan, kantuk dan lelah yang lungkrah seperti tak terasa. Aku lebih ingin disiram air pengetahuan. Sebab aku tahu, pengalaman guru lebih dari sekadar ilmu. Nasihat guru lebih dari sepotong gincu pemanis bibir agar dikatakan seksi. Ceramah guru tak ubahnya serbuan selongsong peluru. Ia begitu saja menghujam tepat di jantung kesadaran. Menohok pelahan masuk dalam urat nadi dan detak jantung. Suka atau tidak suka, nasihatmu kutelan. Kusimpan sebagai bahan ajar bagi diriku. Mungkin kelak aku menemukan diriku sendiri. Sebagaimana kau inginkan: what kind of Budha are you? (MKOBAY)
*****
What kind of Budha are you? Sudahkah kau sadari siapa dirimu sekarang? Seberapa pantas kau berada di sini? Seberapa besar dirimu hingga pantas berada di kuil yang cukup besar pula? Atau seberapa pantas dirimu berada dalam kuil kecil yang mungkin tak elok sebagai pajangan? Inti dari hidup, begitu Pak Dorpi, guruku memberi nasihatnya, kesadaran pada sebuah kepantasan. Pantas untuk berada di mana? Pantas untuk melakukan apa? Pantas untuk mengambil peran yang bagaimana? Pun, kepantasan untuk berapa di level mana dan apa saja.
WKOBAY mungkin soal kepantasan. Juga soal kepatutan personal. Menyadari diri sendiri dengan segala kelemahan dan kelebihan seperti sebuah perjalanan panjang pencarian terus menerus ‘siapa aku’ itu sendiri. Semua orang berusaha untuk menemukan. Semakin tinggi mendaki semakin tak menemukan puncak. Semakin jauh melangkah semakin menemukan hampa. Asal dari segala yang ada adalah ketiadaan itu sendiri. Pada titik itu, kemanusiaan kita diuji oleh konsistensi. Percaya pada proses itu sendiri bukan pada hasil akhirnya. Begitulah kalimat bijak yang selalu kita dengar.
WKOBAY akhirnya bukan soal seberapa besar dirimu merasa sebagai (patung) Budha yang sebesar apa, sehingga layak bagimu ditempatkan di mana. WKOBAY lebih merupakan sebuah kunci dari sekian pertanyaan yang harus kau cari jawabannya. Seperti kata guruku, bukan jawaban itu yang penting tapi kesungguhanmu untuk mencari dan merumuskan jawabanmu itu yang berharga.
*****
Bagiku, Pak Dorpi, guru sekaligus teman diskusi yang menggemaskan nan mencemaskan. Sebagai guru, ia terlalu banyak bicara dan sangat ingin didengar. Aku tak bisa menolak itu. Karena memang tak ada dalam hatiku keinginan menolaknya. Kubiarkan pengalamannya masuk dalam pengetahuanku. Ini soal pelajaran yang harus kuterima. Jika kamu ingin lebih dewasa belajarlah mendengar. Jika engkau ingin pintar belajarlah membaca. Membaca apapun (tak harus buku) mulai dari gerak bibir sampai isyarat dalam tubuhmu sendiri. Jika engkau ingin tahu pergilah kepada orang-orang yang kau anggap lebih mengerti. Pak Dorpi, memberikan sesuatu yang belum aku dapati: belajar menjadi pendengar adalah kunci seni kepemimpinan.
Ia yang mendorongku pada sebuah pengakuan. Memimpin bukan soal mengatur dan kuasa atas segala. Memimpin bukanlah soal ilmu pemerintahan apalagi memerintah. Memimpin pada akhirnya adalah melatih pendengaran kita. Peka dengar peka pada gejala. Seperti nasihat seorang Kiai penyair dari negeri garam, Madura, yang senantiasa kukagumi puisi-puisinya: “embun yang dikabarkan tak fasih gema,” begitu ungkapnya, “heningnya menyadap ribuan gejala”.
Setetes embun bukanlah apa-apa jika tertimpa sinar matahari pagi. Setetes embun menjadi lain artinya jika ia mendengar dengung dan sentuhan gema, yang mengantarkannya bertemu pada getaran. Namun, dalam keheningannya, embun tak ubahnya sebuah perekam peka pada setiap gerak dan perubahan yang berlangsung di sekitarnya. Begitulah, kumaknai pertemuan itu sebagai sebuah persentuhan antara seorang murid dan gurunya. Sebuah perjumpaan embun dan matahari yang tak mungkin melahirkan gempa.
Pembicaraan selalu tak menemukan batas akhirnya kecuali rasa lelah mulai mampir di kelopak mata. Perjalanan jauh menempuh tak kurang dari 300 km., memaksaku untuk berkata lain. Kali ini aku pamit segera. Kelak, jika masih ada hari setelah pertemuan itu, kurasa ada banyak cerita lagi yang membuka tema dari setiap pertemuan dan perjumpaan penuh nuansa.
No comments:
Post a Comment