Perjalanan ke Ranah Minang memberiku sedikit argumen sosiologis (mungkin juga anthropologis) mengapa Prof. Hamka pernah memelihara anjing. Kupikir ini bukan soal mazhab mana yang mau diambil. Jadi, juga bukan soal hukum halal-haramnya. Di perkampungan-perkampungan muslim di Ranah Minang, anjing biasa dipelihara untuk berburu. Biasanya berburu Celeng (babi hutan) atau hama perusak ladang lainnya. Sangat sulit membayangkan memelihara anjing tanpa menyentuh anjing itu sendiri. Sekalipun, dalam perjalanan, saya tidak menjumpai mereka bersentuhan dengan anjing. Dalam pikiran saya, pasti mereka sangat kerepotan bila harus bersuci terus-menerus hanya karena seekor anjing peliharaan. Rasanya ini soal tradisi. Adat kebiasaan yang sudah lama berlangsung. Semacam tindakan yang barangkali bisa dipahami dalam kerangka maslahah mursalah.Apa yang terlihat di Ranah Minang juga dapat dijumpai di Banjarnegara. Pada musim-musim tertentu semacam tradisi berburu tikus sawah dan hama perusak ladang dengan anjing. Sampai di sini tidak jauh beda. Kalau dicari perbedaannya mungkin dapat ditemukan dari stereotip masyarakat suku Minang dan Jawa yang memiliki kekhasan dalam menyikapi agama dan budaya. Orang Jawa cenderung melihat agama dari sisi simboliknya. Sementara Orang Minang melihatnya dari sisi normatifitasnya. Tetapi keduanya, sama-sama memiliki cara pandang budaya yang sama terhadap anjing. Ya....sekurang-kurangnya sama-sama tidak anti anjing, tapi memeliharanya...
Agak mengejutkan juga buat saya sebelumnya melihat kecenderungan seperti itu di Ranah Minang. Alwis, kawanku itu sempat kutanyakan. Seperti sudah kuduga jawabannya: "anjing bagi orang Minang itu untuk dipelihara sebagai teman berburu. Bukan untuk dimakan", katanya.
Menarik juga ya...
fotonya mana mas?
ReplyDelete