08.30, bangun pagi. Pak Mursyid sejak jam 05.00 sudah bersiap pergi ke Rindu Alam. Kupikir bangun sepagi itu terlalu awal memulai sesuatu. Setelah semalaman hujan deras, pagi inilah semestinya aku ke Bukit Tinggi. Jam Gadangku mungkin lelah menunggu. Awak ini tak dapatlah kawan yang mengantar segera. Sebab, belum kupercaya ini Bukit Tinggi jika belum lihat jam gadang. He he he, seperti 14 tahun yang lalu, saat seorang kawan kuajak pergi ke Jakarta. Sebelum lihat Tugu Monas, rasanya belumlah sampai di Jakarta. Ha ha ha, maklum kita ini wong ndeso… serba sulitlah. Harus cari bukti dulu dari setiap keberadaan kita di sana. Kupendam lagi keinginan bertemu Jam Gadang. Tak enak rasanyo awak tak datang pula ke Rindu Alam ini.Baiklah kalau begitu. Sarapan pagi sudah tersedia di meja. Biasalah, khas ala Minang. Kawanku, si Shaleh itu, dialah yang paling doyan kalau soal makan. Aku sih, ala kadarnya. Standard food from Minang.
09.30, kami dijemput ke lokasi. Onde mande, ambo tak percayo…!! Sudah banyak pula urang awak ni datang ke Rindu Alam. Banyak nian pejabat…ha ha ha. Di Rindu Alam inilah kami memulai membicarakan masa lalu. Entah untuk apa pembicaraan itu. Tokh, aku tak jua memikirkannya lebih dalam. Ini soal bagaimana buku “Koto Gadang Masa Kolonial” cepat tersebar. Tentunya banyak yang beli juga lah….
13.00, mari kita selesaikan saja! Perut sudah memanggil-manggil. Kali ini, ala maaakk… Onde Mande pula…hidangan. Lagi, kami bertemu dengan unsur-unsur dalam pohon kelapa. “Kolesterol lah itu”, katanya. Kawanku bilang: “Ah, kau ini. Apa pula…”. “Sudahlah, kau makan saja itu dagingnya. Kau ganyang saja itu santan, tapi jangan kau sertakan pula kolesterolnya”…He he he…
Pak Anas, aku tahu sudah datang. Kawanku yang satu ini luar biasa. Semangatnya, dedikasinya pada dunia buku, khususnya membangun jaringan marketing. Ingat Pak Anas, Sicilian Friendship bukan Yakuza Fighting atau kesetiaan keluarga ala Triad. Begitu kira-kira nasihat ala Al-Pacino dalam God Father, yang selalu kulihat berulang-ulang di tengah-tengah suasana libur di hari minggu. He he he Pak Bos pasti tahulah apa maksudnya. Tapi, gimana nih dengan jam gadangnya? He he habisnya kita belum merasa sampai di Bukit Tinggi nih…
Sekali lagi kami masuk dalam kabin Xtrail. Pak Anas, wah makasih lho…akhirnya aku bisa tahu rasanya Xtrail. Berangkatlah kami ke Jam Gadang disambut rintik hujan..seperti biasa berphoto ala turis lokal. Norak plus bangga gitu looh. Turun kembali menuju goa Jepang, Ngarai Sianok. Waw! Very surprizing….memukau. dulu, aku hanya melihatnya dari uang kertas 1000 perak. Sekaranglah baru, untuk pertama kalinya, kulihat Ngarai itu. It’s beautiful nature phenomenon!!!. Nggak habis pikir juga ya… seperti membelah bumi. Jepang bersembunyi, konon pula membuang mayat romusha dari goa dilempar begitu saja ke ngarai ini….Ia seperti menjadi saksi yang tak mungkin kita tanyakan. Tapi, keangkuhannya menceritakan banyak hal di masa lalu. Ngarai yang mungkin sudah terbentuk entah berapa ratus tahun lalu.
Oke..kembali kami meluncur ke Fort De Kock. Benteng yang dibuat tahun 1825 ini konon dibuat untuk menghalau serbuan tentara Paderi. Tidak kurang 20 meriam diletakkan di setiap sudut pandang ke lembah-lembah di sekitarnya. Dari sanalah mata mengintai pergerakan kuda dan para pasukan Paderi. Sebentar kami nongkrong di atas minum kopi. Kepala ini rasanya kliyengan. Butuh air hitam panas menyembuhkannya. He he he biasalah sudah lumayan berumur. Capek dikit masuk anginlah ambo…Jam menunjukkan pkl. 16.00. saatnya Tabi (eh kami) berpisah dengan Bukit Tinggi.
Perjalanan ke Padang kita ambil jalur alternatif Bukit Tinggi Pariaman lewat Maninjau- Lubuk Basung. Sengaja kami memilih jalan memutar agar bisa lewat Danau Maninjau. Siaran televisi swasta memuat cerita tentang ikan-ikan kecil khas danau ini. Ah…pasti lezatos. Makan di bibir danau. Di tempat para petambak menabur benih ikan-ikan air tawar.
Mungkin bukan pertama-tama tujuan perjalanan itu yang menarik. Perjalanannya itu lho…(bahasa angkuhnya proses) bagaimana kita sampai di tujuan. Kami melewati bebukit berliku, naik dan turun gunung, membaca lembah dan ngarai-ngarai kecil. Kelok 44 begitu orang Minang memberi nama. Tentang kera-kera kecil yang menunggu lemparan sebiji kacang di sisi kiri-kanan jalan. Aduhai….. rasanya penting kembali ke sini. Setidaknya harus bermalamlah. Suasana alam pegunungan yang sejuk dan melenakan. Rasa capai rasanya tergantikan dengan udara bersih dan rasa gentar menatap danaunya yang elok. Kupikir pemerintah kita seharusnya tahu bagaimana mengembangkan tourism.
Danau luas tapi tak seluas pikiran kita memanfaatkannya. Aku sejak awal berencana naik perahu atau boat kecil agar bisa mencapai titik tengah danau. Jangankan boat, perahu getek saja sulit kutemukan selain milik petani tambak. Di mana dunia pariwisata kita. Modal alamnya yang elok terhamparlah di belahan nusantara. Tapi, pikiran kita belumlah sampai bagaimana mengembangkannya. He he he…
Menjelang Isya, Xtrail kami sudah masuk Padang Pariaman. Itu artinya tak lama lagi, mungkin sekitar 30 menit kami akan masuk ke Kota Padang. Jadi apalagi yang belum kudapat. Oke…Durian! Nah, ini yang menarik. Di Jawa kita makan duren seperti makan buah lainnya. Di Padang kita melahapnya dengan penganan ketan. Pertama kupikir agak aneh juga makan duren dengan ketan. Ternyata ….. di sini kedahsyatannya…. Jadi jangan khawatir sakit perut kalau makan duren di Padang sebelum makan. Tentunya juga perutpun tidak terasa panas. Karena ketan dapat berfungsi mendinginkan zat-zat yang terkandung dalam duren. Ketan dapat menetralisirnya. Itulah mengapa orang Padang makan duren dengan ketan.
Oke Pak Anas, Datuk Alwis….Silahkan menikmati pengembaraan lainnya. Good Bye Minang…. May be I will visit you again!............
No comments:
Post a Comment