Selasa, 8 Jan 2008
04.00 bangun tidur. Siap2 berangkat ke Bandara. Tepat pkl. 06.15 burung garuda membawaku terbang berpindah dr Jawa ke Sumatera.
Pkl. 07.40 burungku mendarat mulus di Minangkabau Airport. Waw! lebih bagus dr sebelumnya di Tabing. Teman kami Pak Anas, bos penerbit Erlangga Padang menjemput. Padahal aku juga sudah ditunggu jemputan lain yang akan membawaku ke Bukit Tinggi. Ku pilih Xtrail nya Pak Anas. Tentu saja bukan krn mobilnya (he he he). Pak Anas, kawanku ini dulu di Yk. Kubilang padanya; "Ga kesepian nih di Pdg?" he he he. Tahulah aku jawabannya. Padang jauhlah bedanya dgn Yk. Pak Anas mengajakku singgah dulu di Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 27, kantornya yg baru. Asyik juga!!! Sedikit kerusakan sisa gempa.Sktr pkl. 12 kami cari makan. Xtrail kami meluncur deras menuju Unang Rindu, di bibir pantai Padang. Orang Padang sih bilangnya Taplau (Tapi Laui). Unang Rindu, warung makan bibir pantai itu menyerang perutku yg sejak pagi memang blm makan. Cukup lezat hidangan khasnya, cumi dan udang bakar, peyek ikan, plus teh telor. Segala ubo rampe hidangan tertelan dengan lahap. Lumayan pula, untuk urusan ini kami hrs keluar sajen tak kurang dr 150 tail mojo. Kau pahamlah maksudnya....
Pkl. 13.00 Xtrail kami berputar ke arah Padang Panjang-Bukit Tinggi. 70 km hrs kami tempuh! melewati jln gunung berliku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menikmati keangkuhan bukit barisan, di antara Gunung Singgalang-Gunung Marapi. Ah, aku jadi teringat buku “Tuanku Rao” karya Parlindungan itu. Membayangkan berada di wilayah padang panjang-bukit tinggi ini, dengan lembah-lembahnya, memberi gambaran tentang arah dan pergerakan Paderi's Forces.
Aku dikejutkan oleh pemandangan eksotik di lembah anai. Air terjun tinggi menjulang di sisi kiri jalan dari arah Padang. Di atasnya dibelah oleh jalan kereta api yang sudah berapa tahun tidak lagi beroperasi, di antara himpitan dua buah bukit anak pegunungan bukit barisan. Kupikir ini dulunya adalah lembah. Belanda memulai pembangunan jalan kopi ke kota bukit tinggi. Generasi muda kita sekaranglah yang datang dan pergi ke lembah ini untuk memadu kasih. Ha hiya….alah….alah…. alah.
Istirahatlah dulu kami di sana. Sedikit meninjau situasi sambil mengambil beberapa obyek layaknya turis amatir. Sedikit ada buktilah aku pernah mampir di sana. Supaya bisa kuceritakan kepada seorang kawanku, asli minang, Datuk Alwis Rustam. Kusebutlah begitu. Biarlah dia tak lupa asal-usulnya sendiri. Hey…. Awak ni gimano? Masih orang minang kah? He he he…
Tak lama kami istirahat. Mungkin sekitar 15 menit saja. Xtrail kembali melaju sombong membelah jalan berliku. Eit sekitar 30 menit berlalu. Sampailah kami di Kotobaru. Sekitar 3 km lagi sampai ke Bukit Tinggi. Kawanku bilang: kita mampir lagi ya...di sini ada makanan khas, katanya. Awak ni tahu sajalah hobi kita: wisata kuliner jugalah seperti orang-orang kaya itu. He he he
Xtrail kami pun merapat di Bika Simariana, Koto Baru. Waw! Very exciting! Very excotic! So....traditional moment at the Paderi’s Land! Oke...mari kita ganyang itu Bika....Sangat khas..Makanan dari tepung beras dicampur dengan parutan kelapa dan air kelapa. Ditambah sedikit garam. Gurih sekali....very lezatos...khas makanan padang yang tak pernah melewatkan unsur-unsur pohon kelapa di dalamnya. Cara memasaknya itu lho...Ruarr biasa... Kalau kamu pernah makan serabi Betawi pasti kebayang deh caranya masak. Bika Simariana pun dimasak dengan cara itu. Bahkan lebih unik lagi... tungku berjejer 20 buah dibakar dengan kayu. Ditata sedemikian rapi oleh dua orang juru masaknya. Weleh...weleh.... Pulanglah kau Wis! Sebentar saja....bagaimanapun ini tanahmu...Datuk! he he he.
Tiba-tiba tlp berdering. Pak Mursyid: Hallo, posisi sekarang di mana?, katanya dari sana. “kami sekarang sedang menikmati hidangan hangat Bika Simariana”, kataku. Oke... tunggulah sebentar lagi kita ketemu di Rindu Alamnya Abang Ing...Datuk pulalah awak ni...Putra ketiga, kakak kandung Datuk Alwis kawanku yang American Style itulah.... he he he. Guyonlah awak ni...
“Selamat Datang di Bukit Tinggi”...Kubilang: belumlah aku sampai...aku belum lihat jam gadang yang terkenal itu, kataku. Besoklah kita ke sana. Hari ini kita istirahat dulu di Birugo, land of Datuk Alwis was Born. Bener ga ya....he he he. So tahu lo...! Malam pun tiba. Sedikit berbincang dengan tuan rumah di Birugo. Ngantuk pula awak ni…Tidurlah kita…mimpi jam gadang, mimpi ke Maninjau…Mimpi masa silam in the land of Paderi.
04.00 bangun tidur. Siap2 berangkat ke Bandara. Tepat pkl. 06.15 burung garuda membawaku terbang berpindah dr Jawa ke Sumatera.
Pkl. 07.40 burungku mendarat mulus di Minangkabau Airport. Waw! lebih bagus dr sebelumnya di Tabing. Teman kami Pak Anas, bos penerbit Erlangga Padang menjemput. Padahal aku juga sudah ditunggu jemputan lain yang akan membawaku ke Bukit Tinggi. Ku pilih Xtrail nya Pak Anas. Tentu saja bukan krn mobilnya (he he he). Pak Anas, kawanku ini dulu di Yk. Kubilang padanya; "Ga kesepian nih di Pdg?" he he he. Tahulah aku jawabannya. Padang jauhlah bedanya dgn Yk. Pak Anas mengajakku singgah dulu di Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 27, kantornya yg baru. Asyik juga!!! Sedikit kerusakan sisa gempa.Sktr pkl. 12 kami cari makan. Xtrail kami meluncur deras menuju Unang Rindu, di bibir pantai Padang. Orang Padang sih bilangnya Taplau (Tapi Laui). Unang Rindu, warung makan bibir pantai itu menyerang perutku yg sejak pagi memang blm makan. Cukup lezat hidangan khasnya, cumi dan udang bakar, peyek ikan, plus teh telor. Segala ubo rampe hidangan tertelan dengan lahap. Lumayan pula, untuk urusan ini kami hrs keluar sajen tak kurang dr 150 tail mojo. Kau pahamlah maksudnya....
Pkl. 13.00 Xtrail kami berputar ke arah Padang Panjang-Bukit Tinggi. 70 km hrs kami tempuh! melewati jln gunung berliku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menikmati keangkuhan bukit barisan, di antara Gunung Singgalang-Gunung Marapi. Ah, aku jadi teringat buku “Tuanku Rao” karya Parlindungan itu. Membayangkan berada di wilayah padang panjang-bukit tinggi ini, dengan lembah-lembahnya, memberi gambaran tentang arah dan pergerakan Paderi's Forces.
Aku dikejutkan oleh pemandangan eksotik di lembah anai. Air terjun tinggi menjulang di sisi kiri jalan dari arah Padang. Di atasnya dibelah oleh jalan kereta api yang sudah berapa tahun tidak lagi beroperasi, di antara himpitan dua buah bukit anak pegunungan bukit barisan. Kupikir ini dulunya adalah lembah. Belanda memulai pembangunan jalan kopi ke kota bukit tinggi. Generasi muda kita sekaranglah yang datang dan pergi ke lembah ini untuk memadu kasih. Ha hiya….alah….alah…. alah.
Istirahatlah dulu kami di sana. Sedikit meninjau situasi sambil mengambil beberapa obyek layaknya turis amatir. Sedikit ada buktilah aku pernah mampir di sana. Supaya bisa kuceritakan kepada seorang kawanku, asli minang, Datuk Alwis Rustam. Kusebutlah begitu. Biarlah dia tak lupa asal-usulnya sendiri. Hey…. Awak ni gimano? Masih orang minang kah? He he he…
Tak lama kami istirahat. Mungkin sekitar 15 menit saja. Xtrail kembali melaju sombong membelah jalan berliku. Eit sekitar 30 menit berlalu. Sampailah kami di Kotobaru. Sekitar 3 km lagi sampai ke Bukit Tinggi. Kawanku bilang: kita mampir lagi ya...di sini ada makanan khas, katanya. Awak ni tahu sajalah hobi kita: wisata kuliner jugalah seperti orang-orang kaya itu. He he he
Xtrail kami pun merapat di Bika Simariana, Koto Baru. Waw! Very exciting! Very excotic! So....traditional moment at the Paderi’s Land! Oke...mari kita ganyang itu Bika....Sangat khas..Makanan dari tepung beras dicampur dengan parutan kelapa dan air kelapa. Ditambah sedikit garam. Gurih sekali....very lezatos...khas makanan padang yang tak pernah melewatkan unsur-unsur pohon kelapa di dalamnya. Cara memasaknya itu lho...Ruarr biasa... Kalau kamu pernah makan serabi Betawi pasti kebayang deh caranya masak. Bika Simariana pun dimasak dengan cara itu. Bahkan lebih unik lagi... tungku berjejer 20 buah dibakar dengan kayu. Ditata sedemikian rapi oleh dua orang juru masaknya. Weleh...weleh.... Pulanglah kau Wis! Sebentar saja....bagaimanapun ini tanahmu...Datuk! he he he.
Tiba-tiba tlp berdering. Pak Mursyid: Hallo, posisi sekarang di mana?, katanya dari sana. “kami sekarang sedang menikmati hidangan hangat Bika Simariana”, kataku. Oke... tunggulah sebentar lagi kita ketemu di Rindu Alamnya Abang Ing...Datuk pulalah awak ni...Putra ketiga, kakak kandung Datuk Alwis kawanku yang American Style itulah.... he he he. Guyonlah awak ni...
“Selamat Datang di Bukit Tinggi”...Kubilang: belumlah aku sampai...aku belum lihat jam gadang yang terkenal itu, kataku. Besoklah kita ke sana. Hari ini kita istirahat dulu di Birugo, land of Datuk Alwis was Born. Bener ga ya....he he he. So tahu lo...! Malam pun tiba. Sedikit berbincang dengan tuan rumah di Birugo. Ngantuk pula awak ni…Tidurlah kita…mimpi jam gadang, mimpi ke Maninjau…Mimpi masa silam in the land of Paderi.
ah enak kali abang ku ini jalan-jalan mulu....antar pulau pula.Kapan lah ajak adik mu ini .....hehehhheheheheh
ReplyDeleteHmm...Tak salah, TangkaiPadi adalah personifikasi dari pajenengan juragan elkis ni. Fikri, perjalanan kau tu udah kayak travel report aja. Mending angkat sisi menarik yg lain lah dari ranah minang tu. Tapi asli, tulisanmu itu bikin aku tambah kangen aja... Aku masih Minang Fik, masih mengakar kok, hihi...Okelah, Fikri, Fikri, Fikri...For me, he is far beyond the boundary of personal friend. Not only a brilliant incisive analyist of everything but also a good moslem with a profound understanding of "the function of religion". Jurgan suri tauladan bagi para sahabat panutan bagi lingkungannya. Kutunggu gebrakanmu yg laen...
ReplyDelete