Tak pelak, dunia penerbitan di Indonesia, khususnya dunia penerbitan Islam, merupakan pengejawantahan dari kontestasi ideologi pemikiran keislaman yang telah berlangsung sejak awal abad 20. Dalam batasan tertentu pula harus diakui bahwa di masa-masa awal kontestasi sampai sekitar tahun 1960-an, kita masih merasakan diskursus yang penuh dialog dan perdebatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika akademik.Hal ini, tentulah sangat berbeda jika kita coba bandingkan dengan kecenderungan dewasa ini, terutama di lima tahun pertama reformasi (1998). Yakni; suasana yang cenderung mengabaikan nilai-nilai etika akademik, penuh intrik politik dan kadang-kadang dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ketidaksetujuan kita terhadap suatu jenis pemikiran kadang-kadang diwujudkan dalam bentuk penyerangan secara pisik kepada pihak lain yang kita anggap sesat pikir dan membohongi umat.
Berkaitan dengan seminar tentang penerbitan dan perbukuan sebagai sumber pendidikan Islam, di mana penyaji diminta untuk menyumbangkan pemikiran, utamanya mengiringi terbitnya buku “Khasanah Islam Indonesia” ini, penyaji akan mencoba melihat dari sudut pandang macam ragam ideologi penerbitan Islam di Indonesia. Bagaimana hal itu memberi sumbangan bagi perkembangan dunia pemikiran (pendidikan) Islam di Indonesia.Khazanah Islam Indonesia: buku monografi awalPatut dihargai dari terbitnya buku “Khasanah Islam Indonesia” ini adalah usahanya untuk mencoba melihat spektrum pemikiran Islam dengan segala aspeknya dari berbagai pengalaman para penerbit yang dipilih. Dari kajian dalam buku ini, secara langsung maupun tidak, kita bisa melihat bagaimana proses pewarisan tradisi intelektual Islam dari waktu ke waktu.
Sebagai monografi awal, pertama; semestinya buku ini dapat memancing penelitian lanjutan seputar kontestasi ideologi yang dikembangkan di dalam setiap penerbit Islam dari dulu hingga kini. Kedua; bagaimana kontestasi pasar juga memainkan peran di dalam dinamika perkembangan masing-masing penerbit Islam. Aspek kedua ini menjadi penting dilihat oleh karena idealisme penerbit di satu pihak, pada akhirnya juga akan berbenturan dengan minat dan kecenderungan pasar di pihak lain. Keselarasan antara wilayah idealisme dan pasar ini dari waktu ke waktu menjadi tantangan sekaligus opportunity dan pertaruhan nilai-nilai yang cukup menggemaskan. Bahkan, kadang-kadang keduanya menjadi wilayah perdebatan sengit para pengelolanya. Inti dari keduanya adalah bahwa keduanya harus ada dan berjalan bersama tidak saling menegasikan satu dengan lainnya.
Pengalaman di banyak penerbit Islam yang kemudian berguguran, misalnya, karena salah satunya tidak adanya titik temu antara keduanya. Lebih lanjut, wajah idealisme-nya jauh lebih kental daripada kemampuan mereka membaca segmen pasar mereka sendiri. Pintu utama agar idealisme dapat bertemu dengan arus kecenderungan pasar adalah cara kita menangkap gerak pasar dan segmen pembaca buku kita sendiri. Ke arah sanalah semestinya buku-buku kita pertama-tama didistribusikan dan bukan yang utama ke jalur-jalur konvensional yang selama ini terjadi. Kebanyakan penerbit Islam, dalam pandangan penyaji, memiliki kelemahan di sini. Sumbangan lain dari terbitnya buku “Khasanah Islam Indonesia”, antara lain dapat dijadikan sebagai otokritik bagi penerbit Islam sendiri, terutama beberapa penerbit terpilih sebagai subyek penelitian ini.
Macam Ragam Ideologi
Ideologi-ideologi macam mana yang saat ini berkembang, diperkenalkan, disebarluaskan dan bahkan menjadi ‘identitas’ dari penerbitan Islam itu sendiri? Bagaimana mereka bertarung merebut pangsa pasar umat Islam? Adakah pula penerbit lain yang ikut mengambil tema-tema keislaman sebagai produk mereka? Bagaimana ideologi-ideologi tersebut memainkan peran dalam memperjelas wajah corak keberagaman pemikiran keislaman di Indonesia? Apa dampak dari semua itu bagi proses pendidikan Islam di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin tidak sepenuhnya dapat dijawab dari sajian ini. Sebagai bahan refleksi, sekurang-kurangnya kita punya harapan bahwa macam ragam ideologi itu bukan menambah kerunyaman pendidikan Islam tetapi sebaliknya mampu mendewasakan masyarakat dan kesalingpengertian mereka soal perbedaan pemahaman mereka. Karena, pendidikan, apapun namanya, pada akhirnya adalah usaha pendewasaan. Buku, menjadi salah satu bagian dari usaha tersebut.
*****
Sebagaimana disinggung di awal tulisan, sekurang-kurangnya ada tiga varian ideologi pemikiran yang berkembang di dunia penerbitan Islam; Syi’isme, Sunnisme dan Ahmadiisme. Dalam perkembangannya, kedua varian yang pertama disebut jauh lebih kelihatan gemanya dari yang terakhir. Hal ini, tentunya karena beberapa faktor disamping varian terakhir sendiri sejauh yang penyaji tahu tidak ‘memiliki’ usaha penerbitan sebagaimana kedua yang pertama.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua varian (Syi’isme dan Sunnisme) mengalami banyak kemajuan dan bahkan memunculkan berbagai ‘arus’ yang membelah varian pokoknya. Kecenderungan ini terutama dilihat dari varian Sunnisme yang begitu banyak ‘arus’ dalam dunia penerbitan Islam. Secara singkat, berbagai ‘arus’ dari varian itu terbagi dalam tiga hal: ‘arus’ kiri/kritis, ‘arus’ tengah/moderat dan ‘arus’ kanan/normatif.
‘Arus’ pertama, di samping mengenalkan corak pemikiran kritis dalam tradisi sunni juga menggali akar-akar tradisi keindonesiaan. Ringkasnya, semangat pribumisasi Islam menjadi bagian inhern dan dapat dibaca dalam produk-produk penerbitan buku mereka. ‘Arus’ kedua, secara garis besar berkecenderungan mengusung wacana modernisme Islam dengan segala implikasi sosial-ekonomi-politiknya. Oleh karena posisinya yang berada ditengah, kerapkali ‘arus’ kedua ini cenderung lebih normatif dan ‘arus’ kanan, tapi kadang-kadang pula kritis dengan kasunyatan. Secara ringkas, ‘arus’ kedua dalam penerbitan Islam ini, untuk sebagiannya berada di dalam payung islamisasi ilmu pengetahuan.
‘Arus’ ketiga, secara umum ‘arus’ ini berkecenderungan memperkenalkan Islam-Arab sebagai bentuk akhir dari pemikiran Islam. Karenanya, produk-produk pemikiran (buku) yang ditawarkan lebih banyak mengulang-ulang tema dan terkadang jauh dari kasunyatan dan persoalan-persoalan keislaman-keindonesiaan. Ringkasnya, ‘arus’ ini banyak terinspirasi oleh gerakan-gerakan internasional Wahabisme dan gagasan-gagasan pokok dari gerakan Pan Islamisme di beberapa negara Arab.
Sementara lain, varian di dalam penerbitan Islam Syi’isme tidaklah terlalu banyak terjadi pembelahan ‘arus’. Setelah Mizan memperkenalkan berbagai produk pemikiran para pemikir Syi’ah di Indonesia, relatif dalam kurun waktu tidak kurang dari 20 tahun belum banyak yang bermain di wilayah ini. Setelah ada sedikit pergeseran, barulah belakangan, sekitar 2-4 tahun ini ada beberapa penerbit Islam yang bermain di wilayah ini, itu pun lebih banyak di wilayah fiksi. Ahmadiisme, dalam banyak hal sampai hari ini belumlah diperhitungkan sebagai memiliki produk pemikiran keislaman yang bermain di dunia penerbitan Islam.
*****
Jelaslah di sini, macam ragam ideologi itu telah memainkan peran cukup signifikan melakukan make up wajah Islam Indonesia. Dari waktu ke waktu ‘pertarungan’ macam ragam ideologi itu, disadari atau tidak, ikut menentukan ke arah mana peta pemikiran Islam bergeser dan di posisi mana masyarakat kita mengambil sikap. Pada keseluruhannya, macam ragam ideologi itu pada akhirnya, dari masing-masing produk yang mereka kenalkan berusaha untuk menarik simpati umat Islam untuk membaca dan mempengaruhi mereka untuk menilai produk pemikiran yang dihidangkan. Dengan sendirinya, semakin terlihat jelas bahwa gelombang wacana pemikiran keislaman di Indonesia tidaklah tunggal. Ada banyak corak dan ragamnya. Penerimaan dan penolakan atas semua itu pada akhirnya bergantung pada sejarah dan kedewasaan masyarakat kita sendiri.
Di sinilah, pada hakikatnya sumbangan berarti dunia penerbitan Islam dalam pendidikan masyarakat. Biarlah terjadi kontestasi positif. Saling berlomba merebut simpati. Namun, akhir dari semua, adalah bergantung dari seberapa jauh masyarakat tertarik dengan produk-produk kita dan macam ragam ideologi itu, diterima atau ditolak, mungkin juga bukan pertama-tama yang paling utama. Tetapi, usaha kita merupakan eksperimen dalam menentukan wajah pluralisme Islam Indonesia. Wallahu’alam.
Berkaitan dengan seminar tentang penerbitan dan perbukuan sebagai sumber pendidikan Islam, di mana penyaji diminta untuk menyumbangkan pemikiran, utamanya mengiringi terbitnya buku “Khasanah Islam Indonesia” ini, penyaji akan mencoba melihat dari sudut pandang macam ragam ideologi penerbitan Islam di Indonesia. Bagaimana hal itu memberi sumbangan bagi perkembangan dunia pemikiran (pendidikan) Islam di Indonesia.Khazanah Islam Indonesia: buku monografi awalPatut dihargai dari terbitnya buku “Khasanah Islam Indonesia” ini adalah usahanya untuk mencoba melihat spektrum pemikiran Islam dengan segala aspeknya dari berbagai pengalaman para penerbit yang dipilih. Dari kajian dalam buku ini, secara langsung maupun tidak, kita bisa melihat bagaimana proses pewarisan tradisi intelektual Islam dari waktu ke waktu.
Sebagai monografi awal, pertama; semestinya buku ini dapat memancing penelitian lanjutan seputar kontestasi ideologi yang dikembangkan di dalam setiap penerbit Islam dari dulu hingga kini. Kedua; bagaimana kontestasi pasar juga memainkan peran di dalam dinamika perkembangan masing-masing penerbit Islam. Aspek kedua ini menjadi penting dilihat oleh karena idealisme penerbit di satu pihak, pada akhirnya juga akan berbenturan dengan minat dan kecenderungan pasar di pihak lain. Keselarasan antara wilayah idealisme dan pasar ini dari waktu ke waktu menjadi tantangan sekaligus opportunity dan pertaruhan nilai-nilai yang cukup menggemaskan. Bahkan, kadang-kadang keduanya menjadi wilayah perdebatan sengit para pengelolanya. Inti dari keduanya adalah bahwa keduanya harus ada dan berjalan bersama tidak saling menegasikan satu dengan lainnya.
Pengalaman di banyak penerbit Islam yang kemudian berguguran, misalnya, karena salah satunya tidak adanya titik temu antara keduanya. Lebih lanjut, wajah idealisme-nya jauh lebih kental daripada kemampuan mereka membaca segmen pasar mereka sendiri. Pintu utama agar idealisme dapat bertemu dengan arus kecenderungan pasar adalah cara kita menangkap gerak pasar dan segmen pembaca buku kita sendiri. Ke arah sanalah semestinya buku-buku kita pertama-tama didistribusikan dan bukan yang utama ke jalur-jalur konvensional yang selama ini terjadi. Kebanyakan penerbit Islam, dalam pandangan penyaji, memiliki kelemahan di sini. Sumbangan lain dari terbitnya buku “Khasanah Islam Indonesia”, antara lain dapat dijadikan sebagai otokritik bagi penerbit Islam sendiri, terutama beberapa penerbit terpilih sebagai subyek penelitian ini.
Macam Ragam Ideologi
Ideologi-ideologi macam mana yang saat ini berkembang, diperkenalkan, disebarluaskan dan bahkan menjadi ‘identitas’ dari penerbitan Islam itu sendiri? Bagaimana mereka bertarung merebut pangsa pasar umat Islam? Adakah pula penerbit lain yang ikut mengambil tema-tema keislaman sebagai produk mereka? Bagaimana ideologi-ideologi tersebut memainkan peran dalam memperjelas wajah corak keberagaman pemikiran keislaman di Indonesia? Apa dampak dari semua itu bagi proses pendidikan Islam di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin tidak sepenuhnya dapat dijawab dari sajian ini. Sebagai bahan refleksi, sekurang-kurangnya kita punya harapan bahwa macam ragam ideologi itu bukan menambah kerunyaman pendidikan Islam tetapi sebaliknya mampu mendewasakan masyarakat dan kesalingpengertian mereka soal perbedaan pemahaman mereka. Karena, pendidikan, apapun namanya, pada akhirnya adalah usaha pendewasaan. Buku, menjadi salah satu bagian dari usaha tersebut.
*****
Sebagaimana disinggung di awal tulisan, sekurang-kurangnya ada tiga varian ideologi pemikiran yang berkembang di dunia penerbitan Islam; Syi’isme, Sunnisme dan Ahmadiisme. Dalam perkembangannya, kedua varian yang pertama disebut jauh lebih kelihatan gemanya dari yang terakhir. Hal ini, tentunya karena beberapa faktor disamping varian terakhir sendiri sejauh yang penyaji tahu tidak ‘memiliki’ usaha penerbitan sebagaimana kedua yang pertama.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua varian (Syi’isme dan Sunnisme) mengalami banyak kemajuan dan bahkan memunculkan berbagai ‘arus’ yang membelah varian pokoknya. Kecenderungan ini terutama dilihat dari varian Sunnisme yang begitu banyak ‘arus’ dalam dunia penerbitan Islam. Secara singkat, berbagai ‘arus’ dari varian itu terbagi dalam tiga hal: ‘arus’ kiri/kritis, ‘arus’ tengah/moderat dan ‘arus’ kanan/normatif.
‘Arus’ pertama, di samping mengenalkan corak pemikiran kritis dalam tradisi sunni juga menggali akar-akar tradisi keindonesiaan. Ringkasnya, semangat pribumisasi Islam menjadi bagian inhern dan dapat dibaca dalam produk-produk penerbitan buku mereka. ‘Arus’ kedua, secara garis besar berkecenderungan mengusung wacana modernisme Islam dengan segala implikasi sosial-ekonomi-politiknya. Oleh karena posisinya yang berada ditengah, kerapkali ‘arus’ kedua ini cenderung lebih normatif dan ‘arus’ kanan, tapi kadang-kadang pula kritis dengan kasunyatan. Secara ringkas, ‘arus’ kedua dalam penerbitan Islam ini, untuk sebagiannya berada di dalam payung islamisasi ilmu pengetahuan.
‘Arus’ ketiga, secara umum ‘arus’ ini berkecenderungan memperkenalkan Islam-Arab sebagai bentuk akhir dari pemikiran Islam. Karenanya, produk-produk pemikiran (buku) yang ditawarkan lebih banyak mengulang-ulang tema dan terkadang jauh dari kasunyatan dan persoalan-persoalan keislaman-keindonesiaan. Ringkasnya, ‘arus’ ini banyak terinspirasi oleh gerakan-gerakan internasional Wahabisme dan gagasan-gagasan pokok dari gerakan Pan Islamisme di beberapa negara Arab.
Sementara lain, varian di dalam penerbitan Islam Syi’isme tidaklah terlalu banyak terjadi pembelahan ‘arus’. Setelah Mizan memperkenalkan berbagai produk pemikiran para pemikir Syi’ah di Indonesia, relatif dalam kurun waktu tidak kurang dari 20 tahun belum banyak yang bermain di wilayah ini. Setelah ada sedikit pergeseran, barulah belakangan, sekitar 2-4 tahun ini ada beberapa penerbit Islam yang bermain di wilayah ini, itu pun lebih banyak di wilayah fiksi. Ahmadiisme, dalam banyak hal sampai hari ini belumlah diperhitungkan sebagai memiliki produk pemikiran keislaman yang bermain di dunia penerbitan Islam.
*****
Jelaslah di sini, macam ragam ideologi itu telah memainkan peran cukup signifikan melakukan make up wajah Islam Indonesia. Dari waktu ke waktu ‘pertarungan’ macam ragam ideologi itu, disadari atau tidak, ikut menentukan ke arah mana peta pemikiran Islam bergeser dan di posisi mana masyarakat kita mengambil sikap. Pada keseluruhannya, macam ragam ideologi itu pada akhirnya, dari masing-masing produk yang mereka kenalkan berusaha untuk menarik simpati umat Islam untuk membaca dan mempengaruhi mereka untuk menilai produk pemikiran yang dihidangkan. Dengan sendirinya, semakin terlihat jelas bahwa gelombang wacana pemikiran keislaman di Indonesia tidaklah tunggal. Ada banyak corak dan ragamnya. Penerimaan dan penolakan atas semua itu pada akhirnya bergantung pada sejarah dan kedewasaan masyarakat kita sendiri.
Di sinilah, pada hakikatnya sumbangan berarti dunia penerbitan Islam dalam pendidikan masyarakat. Biarlah terjadi kontestasi positif. Saling berlomba merebut simpati. Namun, akhir dari semua, adalah bergantung dari seberapa jauh masyarakat tertarik dengan produk-produk kita dan macam ragam ideologi itu, diterima atau ditolak, mungkin juga bukan pertama-tama yang paling utama. Tetapi, usaha kita merupakan eksperimen dalam menentukan wajah pluralisme Islam Indonesia. Wallahu’alam.
:-/
ReplyDeletefgdbtyh
ReplyDeletesip,,,,,,,,artikelna
ReplyDelete;)
kepanjangan ach, , pusing bacane
ReplyDeleteOcipz...
ReplyDelete