I. Pendahuluan
Dua tahun belakangan ini penulis kerap diundang ceramah maupun menjadi fasilitator di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (selanjutnya: PT), khususnya berkaitan dengan persoalan seputar media penerbitan PT. Tentu saja penulis diundang dalam kapasitas sebagai praktisi di dunia penerbitan, dalam hal mana diharapkan masukan-masukan dan saran-saran penulis untuk kepentingan perkembangan media penerbitan PT itu sendiri.
Dalam pandangan penulis, keinginan pihak PT mengundang praktisi dunia penerbitan non kampus merupakan pertanda adanya keinginan untuk berdialog dan mencoba untuk melihat kelemahan dan kekuatan media penerbitan PT. Oleh karena itu, penulispun menyediakan waktu untuk hal ini.Dalam beberapakali kunjungan tersebut yang menarik untuk dikemukakan di sini adalah informasi seputar media penerbitan PT yang ‘luar biasa’ banyaknya. Mungkin jauh lebih banyak daripada media penerbitan non PT. Sebagai ilustrasi saja, sebuah PT Islam di Yk memiliki tidak kurang dari 14 jurnal dan beberapa majalah. PT ini juga masih memiliki beberapa lembaga penerbitan yang dikelola oleh para dosen.
Dari ilustrasi ini mungkin dapat dibayangkan ada berapa puluh bahkan ratusan media penerbitan di PT, mulai dari yang negeri sampai swasta. Tentu saja jika dihitung dengan media penerbitan non PT kita akan menemukan data yang (barangkali) tidak seimbang.
Rata-rata media penerbitan PT ini punya klaim sama. Pangsa pasar utama mereka mahasiswa dan dosen. Namun, jika ditanya lebih lanjut apakah dua kelompok pasar itu memperolehnya dengan membeli atau dibagikan secara gratis. Kebanyakan dari media penerbitan PT ini juga punya jawaban khas. Hampir semua produk penerbitan mereka itu dibagikan gratis.
Kenapa begitu? Adalah kenyataan bahwa media penerbitan PT dibiayai negara. Proyek. Apakah sebuah penerbitan yang dibiayai oleh proyek tidak diperbolehkan menjual? Tentu saja (semestinya) tidak dilarang. Apalagi untuk kepentingan jangka panjang media penerbitan PT sendiri.
Tidak sedikit media penerbitan PT yang dilahirkan untuk mengejar akreditasi. Ketika media penerbitan tersebut mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah, Depag misalnya, maka media tersebut akan cepat terakreditasi. Semakin bagus tingkat akreditasi sebuah media penerbitan akan semakin baik nilai kum yang diberikan. Tak jarang media penerbitan PT justru menerapkan tarif kepada dosen yang hendak menulis jika ingin memastikan tulisannya dimuat. Siapa tidak mau jika sekali menulis dosen yang bersangkutan akan memperoleh nilai kum 10!
Sampai di sini penulis hanya ingin mengatakan bahwa ada banyak masalah yang belum selesai dipecahkan. Pengalaman beberapakali kunjungan ke PT Islam kurun dua tahun terakhir ini, semakin meyakinkan penulis untuk melibatkan diri dalam usaha ikut membantu mengembangkan apa dan bagaimana seharusnya sebuah media penerbitan itu dikelola.
Belajar dari pengalaman penerbitan PT luar negeri seperti Oxford, Mcgill University dan bahkan Routledge kita menjadi lebih mengerti di mana letak kelemahan media penerbitan PT di Indonesia. Apa yang menyebabkan media penerbitan PT cenderung kalah pamor dengan media penerbitan non PT di Indonesia. Bagaimana kita mencoba mencari solusi dari problematik sebagaimana dikemukakan sepintas di atas. Apa sebetulnya problematik mendasar yang melingkupi media penerbitan PT pada umumnya.
Artikel lepas ini tentunya tidak berpretensi memberikan solusi yang mujarab. Gagasan dalam tulisan
ini lebih baik kita anggap sebagai sebuah pancingan dari mana media-media penerbitan PT menata diri dan berusaha memperbaikinya.
*****
Dalam perspektif penulis pengelolaan media penerbitan PT cenderung asal-asalan. Tidak serius. Project oriented. Bahkan, dalam banyak hal media penerbitan PT merasa lebih akademis daripada media penerbitan non PT. Kesan ini tentu saja sebagai pandangan subjektif penulis dalam beberapakali kesempatan langsung berdiskusi dengan para pengelola media penerbitan PT.
Namun demikian penulis berusaha memahami bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang dikehendaki. Problematik kebijakan dan managemen media penerbitan PT, dalam perspektif penulis, menjadi persoalan yang perlu mendapat proporsi utama dalam mencari solusi terbaik ke depan. Kedua, tentu saja masalah pasar (pada umumnya marketing) harus dipahami sebagai konsekwensi dari produksi yang telah dihasilkan. Pada bagian akhir dari artikel ini kita akan coba lihat kemungkinan-kemungkinan kerjasama dengan pihak-pihak lain di luar PT.
II. Problematik Kebijakan
Rendahnya kemauan (keterampilan) menulis di kalangan civitas akademika PT dan kemampuan penelitian yang memadai ikut andil dalam melemahkan tradisi akademik di PT. Oleh karena hal tersebut di atas, inisiatif Subdit Kerjasama Perguruan Tinggi dan Publikasi Karya Ilmiah mencanangkan program penerbitan dan publikasi. Namun, patut ditanyakan di sini adalah seberapa
efektif program ini dapat dijalankan? Apakah kebijakan seperti ini akan mendorong peningkatan kualitas dan kualitas karya ilmiah atau sebaliknya, menghambur-hamburkan uang negara?
Problematik kebijakan lain berkaitan dengan persoalan akreditasi atas berbagai lembaga penerbitan PT. Adalah penting untuk dilihat, dikritisi apakah kebijakan soal akreditasi mampu menjawab masalah kemampuan dan kemauan civitas akademika atau persoalan ini sebetulnya berkaitan dengan tradisi akademik di masing-masing PT.
Jika masalahnya adalah persoalan tradisi akademik sepertinya harus ada kebijakan lain yang tidak melulu diasumsikan sebagai upaya mencapai tingkat akreditasi tertentu.
Sebab masalah akreditasi atas lembaga-lembaga penerbitan PT seringkali menjadi dasar bagaimana
penerbitan itu dijalankan. Jika asumsi bahwa lembaga penerbitan PT dibuat untuk mewujudkan visi penerbitan dan publikasi yang modern, mandiri dan mampu memberikan pelayanan atas karya-karya ilmiah tampaknya akan berbenturan dengan persoalan kebijakan akreditasi.
Penting dipikirkan di sini (dari kacamata orang luar), adalah memacu tradisi menulis dan pengelolaan lembaga penerbitan PT yang lebih mandiri, profesional dan memiliki visi yang jauh ke depan. Untuk sampai ke arah ini tentunya aspek berkaitan dengan persoalan manajemen pun menjadi sesuatu yang penting dibenahi.
III. Problematik Managemen
Sudah bukan rahasia lagi apabila lembaga-lembaga penerbitan PT cenderung dikelola asal-asalan. Itu pula yang menyebabkan lembaga penerbitan PT cenderung kalah saing dengan lembaga penerbitan non PT. Salah satu sumber utama dari kelemahan ini adalah masalah bagaimana lembaga penerbitan PT itu dikelola.
Pertama, penerbitan PT (sejauh yang penulis amati) cenderung terlibat faksionalisme di kalangan para pengelolanya. Faksionalisme itu biasanya berkaitan dengan peta politik internal PT yang bersangkutan. Ia juga bisa disebabkan oleh bias ideologi dan organisasi dari mana pengelolanya dibesarkan. Dengan sendirinya, akibat dari ini adalah tidak munculnya penulis-penulis potensial oleh karena –kadang-kadang—tidak diakomodir secara profesional.
Kedua, lembaga penerbitan PT sangat ditopang oleh anggaran dana negara. Hal ini menyebabkan tidak ada tantangan menggali dana sendiri. Tidak jarang sebuah terbitan dihasilkan karena kepentingan menghabiskan dana anggaran sebelumnya.
Ketiga, lembaga penerbitan PT cenderung ‘alergi’ kerjasama dengan penerbitan non PT. Dalam pandangan penulis, kerjasama antara lembaga penerbitan PT dan non PT apabila terjalin lebih sinergis justru akan menguntungkan kedua belah pihak. Kerjasama ini akan menghasilkan suatu model pembelajaran bersama dan tahu masing-masing kelemahan dan kekuatannya.
Keempat, dari sisi penggarapan isu, lembaga penerbitan PT cenderung bersifat “konservatif”. Dalam pengertian ini, isu-isu yang dikembangkan masih seputar apa dan bagaimana aktivitas PT tersebut. Hal ini menimbulkan kesan lembaga penerbitan PT kurang responsif terhadap isu-isu yang sedang trend dalam wacana ilmiah (akademik).
Kelima, Penerbitan jurnal ilmiah tampaknya masih menjadi pilihan utama. Seolah-olah bahwa citra intelektualitas, penemuan-penemuan terbaru dan barangkali publikasi yang baik (hanya) ada di jurnal. Jurnal ilmiah menjadi semacam juru bicara bagaimana PT itu dikembangkan. Karenanya, tidak sedikit di suatu PT, misalnya, memiliki lebih dari 5 jurnal. Bagi penulis kecenderungan seperti ini sangat tidak efisien dan cenderung pemborosan uang negara karena proyek-proyek penerbitan seperti ini. Bukankah jauh lebih baik jurnal diterbitkan dengan melibatkan kerjasama dari berbagai PT yang ada dengan spesifikasi dan fokus kepada wacana tertentu. Dengan begitu, iklim persaingan akan semakin nyata dan selektif. Hanya tulisan bermutu akan tampil dan dipublikasikan jurnal. Dengan sendirinya tradisi akademik akan berjalan jauh lebih sehat dari sebelumnya.
Keenam, problematik manajemen lainnya, lembaga penerbitan PT cenderung tidak responsif atas pasar. Kesan project oriented lebih besar dari market oriented. Masalah pasar tidak bisa diabaikan begitu saja. Masalah ini berimplikasi pada banyak hal seperti; kemasan (tampilan) produk terbitan, wacana yang dikembangkan, dan tentunya juga profesionalitas dan brand lembaga penerbitan tersebut.
Pada umumnya kesan penulis atas kemasan jurnal PT, cenderung tidak menarik. Terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodir dalam tampilan cover seperti; pencantuman nama para penulis sehingga mempengaruhi desain cover secara umum. Kemasan jurnal ala lembaga penerbitan PT yang relatif sama karena harus mengikuti ketentuan lembaga akreditasi menyebabkan sulitnya produk terbitan seperti ini bersaing di pasaran secara luas.
*****
Pengalaman penulis berkunjung ke beberapa PT menunjukkan kesadaran di kalangan pengelolanya
berkaitan dengan pasar. Penulis kerap diundang untuk berbicara soal bagaimana pasar digerakkan. Apa mungkin jurnal terbitan PT dapat bersaing di pasar secara luas. Bahkan sebagian di antaranya meminta jasa kantor penulis untuk mendistribusikan jurnal-jurnal tersebut. Tentu saja penulis menolak dengan pertimbangan bahwa jurnal sangat sulit dipasarkan.
Kesulitan memasarkan jurnal sangatlah teknis. Pertama, jurnal memiliki kelemahan dari sisi usia pasarnya. Sebab, biasanya jurnal dibuat berkala triwulanan, atau enam bulanan bahkan ada jurnal yang terbit pertahun. Dengan aktivitas penerbitan di kantor penulis yang cukup tinggi sangat sulit mendeteksi arus pasar jurnal yang harus mengalami up date setiap minimal 3 bulan sekali.
Kedua, bahasa jurnal biasanya tidak luwes seperti buku-buku pada umumnya. Oleh karenanya, pembaca jurnal pun sangat spesifik. Jurnal seharusnya berada pada level pasar yang spesifik pula. Jika menyangkut hal ini kebanyakan pengelola jurnal sendiri angkat tangan dan tidak banyak tahu bagaimana cara memasarkannya. Akibat dari itu, biasanya jurnal yang ada lebih banyak dibagikan secara gratis atau bahkan menjadi media komunikasi pertukaran produk antar PT.
Di kebanyakan kasus di PT yang penulis datangi biasanya penulis memberi solusi atas problematik pasar seperti dikemukakan di atas, yakni. Pertama, bagaimana tulisan-tulisan yang pernah dimuat di jurnal tersebut dikumpulkan ulang (rewriting) menjadi sebuah buku antologi. Solusi ini sebetulnya tidak kreatif namun mampu menyiasati salah satu problematik pasar. Dengan menyunting beberapa tulisan di jurnal dengan tema yang sejenis kemungkinan masuk pasar masih lebih bagus daripada membiarkan jurnal bertarung sendirian di pasar bebas. Solusi ini tentu saja dengan catatan bahwa lembaga-lembaga penerbitan PT mau bekerjasama dengan lembaga penerbitan non PT yang memiliki jaringan distribusi dan pemasaran luas.
Kedua, solusi yang lebih radikal. Yakni, bagaimana lembaga penerbitan PT memiliki kebijakan bahwa
menerbitkan buku jauh lebih prospektif daripada jurnal. Bukan soal penerbitan jurnal tidak penting. Sekali lagi penting dikatakan di sini, jurnal tetap harus ada hanya saja frekwensi dan kwantitasnya barangkali dibatasi. Solusi ini tentu saja berdasar pengalaman bahwa jurnal-jurnal yang diterbitkan PT sama sekali kesulitan bersaing baik dari sisi pasar maupun kualitas jika dibandingkan dengan penerbitan jurnal non PT yang pernah ada. Hanya saja problematik dari solusi ini mensyaratkan adanya perubahan kebijakan di tingkat departemen yang menaungi masalah ini.
Sampai di sini tentu saja bola bukan lagi berada di tangan penulis. Apa yang dipaparkan ini tentu harus dipahami sebagai pandangan orang non akademis yang kebetulan pelaku dunia penerbitan buku. Wallahu’alam.
Dua tahun belakangan ini penulis kerap diundang ceramah maupun menjadi fasilitator di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (selanjutnya: PT), khususnya berkaitan dengan persoalan seputar media penerbitan PT. Tentu saja penulis diundang dalam kapasitas sebagai praktisi di dunia penerbitan, dalam hal mana diharapkan masukan-masukan dan saran-saran penulis untuk kepentingan perkembangan media penerbitan PT itu sendiri.
Dalam pandangan penulis, keinginan pihak PT mengundang praktisi dunia penerbitan non kampus merupakan pertanda adanya keinginan untuk berdialog dan mencoba untuk melihat kelemahan dan kekuatan media penerbitan PT. Oleh karena itu, penulispun menyediakan waktu untuk hal ini.Dalam beberapakali kunjungan tersebut yang menarik untuk dikemukakan di sini adalah informasi seputar media penerbitan PT yang ‘luar biasa’ banyaknya. Mungkin jauh lebih banyak daripada media penerbitan non PT. Sebagai ilustrasi saja, sebuah PT Islam di Yk memiliki tidak kurang dari 14 jurnal dan beberapa majalah. PT ini juga masih memiliki beberapa lembaga penerbitan yang dikelola oleh para dosen.
Dari ilustrasi ini mungkin dapat dibayangkan ada berapa puluh bahkan ratusan media penerbitan di PT, mulai dari yang negeri sampai swasta. Tentu saja jika dihitung dengan media penerbitan non PT kita akan menemukan data yang (barangkali) tidak seimbang.
Rata-rata media penerbitan PT ini punya klaim sama. Pangsa pasar utama mereka mahasiswa dan dosen. Namun, jika ditanya lebih lanjut apakah dua kelompok pasar itu memperolehnya dengan membeli atau dibagikan secara gratis. Kebanyakan dari media penerbitan PT ini juga punya jawaban khas. Hampir semua produk penerbitan mereka itu dibagikan gratis.
Kenapa begitu? Adalah kenyataan bahwa media penerbitan PT dibiayai negara. Proyek. Apakah sebuah penerbitan yang dibiayai oleh proyek tidak diperbolehkan menjual? Tentu saja (semestinya) tidak dilarang. Apalagi untuk kepentingan jangka panjang media penerbitan PT sendiri.
Tidak sedikit media penerbitan PT yang dilahirkan untuk mengejar akreditasi. Ketika media penerbitan tersebut mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah, Depag misalnya, maka media tersebut akan cepat terakreditasi. Semakin bagus tingkat akreditasi sebuah media penerbitan akan semakin baik nilai kum yang diberikan. Tak jarang media penerbitan PT justru menerapkan tarif kepada dosen yang hendak menulis jika ingin memastikan tulisannya dimuat. Siapa tidak mau jika sekali menulis dosen yang bersangkutan akan memperoleh nilai kum 10!
Sampai di sini penulis hanya ingin mengatakan bahwa ada banyak masalah yang belum selesai dipecahkan. Pengalaman beberapakali kunjungan ke PT Islam kurun dua tahun terakhir ini, semakin meyakinkan penulis untuk melibatkan diri dalam usaha ikut membantu mengembangkan apa dan bagaimana seharusnya sebuah media penerbitan itu dikelola.
Belajar dari pengalaman penerbitan PT luar negeri seperti Oxford, Mcgill University dan bahkan Routledge kita menjadi lebih mengerti di mana letak kelemahan media penerbitan PT di Indonesia. Apa yang menyebabkan media penerbitan PT cenderung kalah pamor dengan media penerbitan non PT di Indonesia. Bagaimana kita mencoba mencari solusi dari problematik sebagaimana dikemukakan sepintas di atas. Apa sebetulnya problematik mendasar yang melingkupi media penerbitan PT pada umumnya.
Artikel lepas ini tentunya tidak berpretensi memberikan solusi yang mujarab. Gagasan dalam tulisan
ini lebih baik kita anggap sebagai sebuah pancingan dari mana media-media penerbitan PT menata diri dan berusaha memperbaikinya.
*****
Dalam perspektif penulis pengelolaan media penerbitan PT cenderung asal-asalan. Tidak serius. Project oriented. Bahkan, dalam banyak hal media penerbitan PT merasa lebih akademis daripada media penerbitan non PT. Kesan ini tentu saja sebagai pandangan subjektif penulis dalam beberapakali kesempatan langsung berdiskusi dengan para pengelola media penerbitan PT.
Namun demikian penulis berusaha memahami bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang dikehendaki. Problematik kebijakan dan managemen media penerbitan PT, dalam perspektif penulis, menjadi persoalan yang perlu mendapat proporsi utama dalam mencari solusi terbaik ke depan. Kedua, tentu saja masalah pasar (pada umumnya marketing) harus dipahami sebagai konsekwensi dari produksi yang telah dihasilkan. Pada bagian akhir dari artikel ini kita akan coba lihat kemungkinan-kemungkinan kerjasama dengan pihak-pihak lain di luar PT.
II. Problematik Kebijakan
Rendahnya kemauan (keterampilan) menulis di kalangan civitas akademika PT dan kemampuan penelitian yang memadai ikut andil dalam melemahkan tradisi akademik di PT. Oleh karena hal tersebut di atas, inisiatif Subdit Kerjasama Perguruan Tinggi dan Publikasi Karya Ilmiah mencanangkan program penerbitan dan publikasi. Namun, patut ditanyakan di sini adalah seberapa
efektif program ini dapat dijalankan? Apakah kebijakan seperti ini akan mendorong peningkatan kualitas dan kualitas karya ilmiah atau sebaliknya, menghambur-hamburkan uang negara?
Problematik kebijakan lain berkaitan dengan persoalan akreditasi atas berbagai lembaga penerbitan PT. Adalah penting untuk dilihat, dikritisi apakah kebijakan soal akreditasi mampu menjawab masalah kemampuan dan kemauan civitas akademika atau persoalan ini sebetulnya berkaitan dengan tradisi akademik di masing-masing PT.
Jika masalahnya adalah persoalan tradisi akademik sepertinya harus ada kebijakan lain yang tidak melulu diasumsikan sebagai upaya mencapai tingkat akreditasi tertentu.
Sebab masalah akreditasi atas lembaga-lembaga penerbitan PT seringkali menjadi dasar bagaimana
penerbitan itu dijalankan. Jika asumsi bahwa lembaga penerbitan PT dibuat untuk mewujudkan visi penerbitan dan publikasi yang modern, mandiri dan mampu memberikan pelayanan atas karya-karya ilmiah tampaknya akan berbenturan dengan persoalan kebijakan akreditasi.
Penting dipikirkan di sini (dari kacamata orang luar), adalah memacu tradisi menulis dan pengelolaan lembaga penerbitan PT yang lebih mandiri, profesional dan memiliki visi yang jauh ke depan. Untuk sampai ke arah ini tentunya aspek berkaitan dengan persoalan manajemen pun menjadi sesuatu yang penting dibenahi.
III. Problematik Managemen
Sudah bukan rahasia lagi apabila lembaga-lembaga penerbitan PT cenderung dikelola asal-asalan. Itu pula yang menyebabkan lembaga penerbitan PT cenderung kalah saing dengan lembaga penerbitan non PT. Salah satu sumber utama dari kelemahan ini adalah masalah bagaimana lembaga penerbitan PT itu dikelola.
Pertama, penerbitan PT (sejauh yang penulis amati) cenderung terlibat faksionalisme di kalangan para pengelolanya. Faksionalisme itu biasanya berkaitan dengan peta politik internal PT yang bersangkutan. Ia juga bisa disebabkan oleh bias ideologi dan organisasi dari mana pengelolanya dibesarkan. Dengan sendirinya, akibat dari ini adalah tidak munculnya penulis-penulis potensial oleh karena –kadang-kadang—tidak diakomodir secara profesional.
Kedua, lembaga penerbitan PT sangat ditopang oleh anggaran dana negara. Hal ini menyebabkan tidak ada tantangan menggali dana sendiri. Tidak jarang sebuah terbitan dihasilkan karena kepentingan menghabiskan dana anggaran sebelumnya.
Ketiga, lembaga penerbitan PT cenderung ‘alergi’ kerjasama dengan penerbitan non PT. Dalam pandangan penulis, kerjasama antara lembaga penerbitan PT dan non PT apabila terjalin lebih sinergis justru akan menguntungkan kedua belah pihak. Kerjasama ini akan menghasilkan suatu model pembelajaran bersama dan tahu masing-masing kelemahan dan kekuatannya.
Keempat, dari sisi penggarapan isu, lembaga penerbitan PT cenderung bersifat “konservatif”. Dalam pengertian ini, isu-isu yang dikembangkan masih seputar apa dan bagaimana aktivitas PT tersebut. Hal ini menimbulkan kesan lembaga penerbitan PT kurang responsif terhadap isu-isu yang sedang trend dalam wacana ilmiah (akademik).
Kelima, Penerbitan jurnal ilmiah tampaknya masih menjadi pilihan utama. Seolah-olah bahwa citra intelektualitas, penemuan-penemuan terbaru dan barangkali publikasi yang baik (hanya) ada di jurnal. Jurnal ilmiah menjadi semacam juru bicara bagaimana PT itu dikembangkan. Karenanya, tidak sedikit di suatu PT, misalnya, memiliki lebih dari 5 jurnal. Bagi penulis kecenderungan seperti ini sangat tidak efisien dan cenderung pemborosan uang negara karena proyek-proyek penerbitan seperti ini. Bukankah jauh lebih baik jurnal diterbitkan dengan melibatkan kerjasama dari berbagai PT yang ada dengan spesifikasi dan fokus kepada wacana tertentu. Dengan begitu, iklim persaingan akan semakin nyata dan selektif. Hanya tulisan bermutu akan tampil dan dipublikasikan jurnal. Dengan sendirinya tradisi akademik akan berjalan jauh lebih sehat dari sebelumnya.
Keenam, problematik manajemen lainnya, lembaga penerbitan PT cenderung tidak responsif atas pasar. Kesan project oriented lebih besar dari market oriented. Masalah pasar tidak bisa diabaikan begitu saja. Masalah ini berimplikasi pada banyak hal seperti; kemasan (tampilan) produk terbitan, wacana yang dikembangkan, dan tentunya juga profesionalitas dan brand lembaga penerbitan tersebut.
Pada umumnya kesan penulis atas kemasan jurnal PT, cenderung tidak menarik. Terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodir dalam tampilan cover seperti; pencantuman nama para penulis sehingga mempengaruhi desain cover secara umum. Kemasan jurnal ala lembaga penerbitan PT yang relatif sama karena harus mengikuti ketentuan lembaga akreditasi menyebabkan sulitnya produk terbitan seperti ini bersaing di pasaran secara luas.
*****
Pengalaman penulis berkunjung ke beberapa PT menunjukkan kesadaran di kalangan pengelolanya
berkaitan dengan pasar. Penulis kerap diundang untuk berbicara soal bagaimana pasar digerakkan. Apa mungkin jurnal terbitan PT dapat bersaing di pasar secara luas. Bahkan sebagian di antaranya meminta jasa kantor penulis untuk mendistribusikan jurnal-jurnal tersebut. Tentu saja penulis menolak dengan pertimbangan bahwa jurnal sangat sulit dipasarkan.
Kesulitan memasarkan jurnal sangatlah teknis. Pertama, jurnal memiliki kelemahan dari sisi usia pasarnya. Sebab, biasanya jurnal dibuat berkala triwulanan, atau enam bulanan bahkan ada jurnal yang terbit pertahun. Dengan aktivitas penerbitan di kantor penulis yang cukup tinggi sangat sulit mendeteksi arus pasar jurnal yang harus mengalami up date setiap minimal 3 bulan sekali.
Kedua, bahasa jurnal biasanya tidak luwes seperti buku-buku pada umumnya. Oleh karenanya, pembaca jurnal pun sangat spesifik. Jurnal seharusnya berada pada level pasar yang spesifik pula. Jika menyangkut hal ini kebanyakan pengelola jurnal sendiri angkat tangan dan tidak banyak tahu bagaimana cara memasarkannya. Akibat dari itu, biasanya jurnal yang ada lebih banyak dibagikan secara gratis atau bahkan menjadi media komunikasi pertukaran produk antar PT.
Di kebanyakan kasus di PT yang penulis datangi biasanya penulis memberi solusi atas problematik pasar seperti dikemukakan di atas, yakni. Pertama, bagaimana tulisan-tulisan yang pernah dimuat di jurnal tersebut dikumpulkan ulang (rewriting) menjadi sebuah buku antologi. Solusi ini sebetulnya tidak kreatif namun mampu menyiasati salah satu problematik pasar. Dengan menyunting beberapa tulisan di jurnal dengan tema yang sejenis kemungkinan masuk pasar masih lebih bagus daripada membiarkan jurnal bertarung sendirian di pasar bebas. Solusi ini tentu saja dengan catatan bahwa lembaga-lembaga penerbitan PT mau bekerjasama dengan lembaga penerbitan non PT yang memiliki jaringan distribusi dan pemasaran luas.
Kedua, solusi yang lebih radikal. Yakni, bagaimana lembaga penerbitan PT memiliki kebijakan bahwa
menerbitkan buku jauh lebih prospektif daripada jurnal. Bukan soal penerbitan jurnal tidak penting. Sekali lagi penting dikatakan di sini, jurnal tetap harus ada hanya saja frekwensi dan kwantitasnya barangkali dibatasi. Solusi ini tentu saja berdasar pengalaman bahwa jurnal-jurnal yang diterbitkan PT sama sekali kesulitan bersaing baik dari sisi pasar maupun kualitas jika dibandingkan dengan penerbitan jurnal non PT yang pernah ada. Hanya saja problematik dari solusi ini mensyaratkan adanya perubahan kebijakan di tingkat departemen yang menaungi masalah ini.
Sampai di sini tentu saja bola bukan lagi berada di tangan penulis. Apa yang dipaparkan ini tentu harus dipahami sebagai pandangan orang non akademis yang kebetulan pelaku dunia penerbitan buku. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment