March 25, 2008

HARUSKAH SITUS PORNO DIBLOKIR?

Menkominfo, Muhammad Nuh, dalam sebuah kesempatan jumpa pers setelah pengesahan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) di Jakarta, 25 Maret 2008, menegaskan rencana Pemerintah memblokir situs-situs porno di Indonesia. Hal ini, sebagaimana dikemukakan, dilandasi akal sehat yang universal. Begitu kira-kira berita yang bisa kita baca di situs berita online ternama.

Apa yang bisa kita bicarakan soal ini? Haruskah situs porno diblokir? Apakah dengan pemblokiran itu dengan serta merta menghapus/menahan hasrat dan keranjingan pengguna internet untuk menikmati gambar-gambar porno? Ataukah sebaliknya, hal ini akan memicu babak baru (baca juga: era baru kebebasan) setiap orang untuk melihat gambar-gambar porno dari berbagai sumber lain; HP dan situs-situs internet privat?Sebagai user, tak ada yang perlu saya sesali dari rencana Pemerintah memblokir situs-situs porno tersebut. Secara pribadi saya merasa tak dirugikan soal ini, meskipun akses saya melihat situs-situs porno menjadi berkurang (he he he). Masalahnya menurut saya bukan terletak di pemblokiran itu. Gamblangnya, pemblokiran bukan merupakan solusi yang tepat menangkal berkembang biaknya pornografi di Indonesia. Masalah kita bukan soal setuju dan tidak setuju dengan pornografi atau pemblokiran itu.


Atas kasus ini dan mungkin juga kasus-kasus lainnya, sebagai bangsa kita ini punya masalah dengan cara berpikir kita yang reaktif, sok bermoral dan lemah berpikir panjang. Seolah-olah dengan menutup sesuatu dengan sendirinya kita telah menyelesaikan masalah. Atau sekurang-kurangnya tengah menjalankan tugas suci keagamaan. Amar ma’ruf nahi munkar! Jadi, kadang-kadang cara kita mengambil keputusan begitu pendek pikir, kurang jembar melihat konsekwensi-konsekwensi logis dari keputusan yang kita ambil.


Saya teringat sekitar tujuh tahun lalu, saat di mana saya menjadi fasilitator workshop di salah sebuah pesantren di Sulawesi Selatan. Saat itu, kita tengah asyik berdiskusi tentang keberadaan kompleks pelacuran di Pare-Pare, antara tuntutan masayarakat kepada Pemerintah untuk menutupnya atau melokalisirnya dipandang dari sisi agama. Jawaban atas ini bisa banyak. Mungkin arus utamanya bisa saja dua kemungkinan: setuju dan tidak setuju ditutup.


Dan saya pun terkejut dengan kesimpulan para santri yang mengatakan lebih baik dilokalisir daripada ditutup. Kira-kira dasar dari pengambilan kesimpulan ini li-akhof dlororoin (memilih mana yang mudlarat dan mafsadatnya paling rendah di antara keduanya). Artinya, jika menutup kompleks prostitusi itu lebih besar mudlaratnya daripada manfaatnya, di mana dengan menutup kompleks prostitusi itu justru akan memicu prostitusi jalanan yang lebih liar dan buas, mengapa tidak dilokalisir saja? Jadi, masalahnya bukan memelihara kemungkaran di depan mata, tapi berpikir pada dampak sosial lanjutan dari aksi-aksi kita yang merasa paling suci.


Jika kita kembali kepada soal pemblokiran itu, akhirnya ini juga bukan soal bahwa Pemerintah berprestasi dalam membrantas pornografi di tengah-tengah segudang masalah melemahnya perlindungan negara terhadap rakyatnya sendiri.


Jadi, kira-kira dalam perspektif apa kita mau mendiskusikan masalah-masalah seperti ini? Wallahu’alam.

1 comment:

  1. Anonymous6:50 AM

    "saya melihat situs-situs porno menjadi berkurang (he he he"

    Itulah masalah Anda, mas. Situs porno diblokir kok kebakaran jenggot. Pake sok2 bilang reaktiflah apalah. Mas..mas..itu cuma salah satu solusi, solusi lain bisa kita tuntut juga dari pemerintah. Btw, jangan2 Anda juga penentang RUU APP? Bilangnya reaktif lah, bukan solusi lah, sempit lah apalah :)

    Btw, gimana yah kalo ketelanjangan & kemaksiatan lainnya dilokalisasi? Kan lumayan tuh buat nambah pendapatan pemda.

    ReplyDelete