Suatu ketika saya berdebat dengan seorang teman. Karena pendapatnya: orang masuk surga karena amalnya. Saya menolak pandangan itu. Bagi saya orang masuk surga karena rahmat-Nya. Karena cakupan pandangan ini lebih etis dan luas. Seperti kemahaluasan Tuhan itu sendiri. Kalau begitu, kata teman saya, sia-sia saja orang beramal shalih, katanya. Saya bilang: sama sekali tidak! Mungkin yang sia-sia itu niatnya: ingin masuk surga.
Lalu saya ceritakan kepada teman saya itu sebuah riwayat. Seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Padahal dirinya juga bernasib sama. Sampai kemudian si pelacur tadi meninggal. Rahmat Tuhanlah, sifatnya yang rahman-rahim itu menyelamatkannya dari api neraka. Para da’i maupun khatib biasa dan sering mendengar riwayat ini.
Teman saya tercenung sejenak. Tatapan matanya ingin mengatakan sesuatu. Tak kunjung pula saya mendengar kalimatnya. Sampai kemudian ia berkata: Kalau begitu Thomas Alpha Edison pun akan masuk surga, katanya. Saya kembali mengatakan: belum tentu! Teman saya membantah. Lha, pelacur saja yang amalnya begitu di menit-menit akhir hidupnya bisa masuk surga, kenapa Thomas Alpha Edison, penemu bola lampu listrik itu belum tentu masuk surga, sergahnya.
Saya katakan padanya: masalah kita bukan soal surga-neraka. Kita sedang bicara tentang rahmat Tuhan yang maha kasih itu, sambil diam-diam saya memuji teman saya yang mulai kritis itu. Karena tidak puas, teman saya bilang: kamu ngaco! Ya sudahlah, kataku pelan. Mungkin kita berdiri pada sisi yang berbeda dalam melihat agama, kataku dalam hati.
Dari cerita itu saya ingin katakan bahwa kita sering bereaksi atas sesuatu sebelum mencoba melihat sesuatu itu dari sudut pandang yang lebih luas. Seperti kasus teman saya tadi, seolah-olah hidup adalah ambang batas surga-neraka. Cara kita bereaksi atas kasus-kasus, peristiwa-peristiwa tertentu, khususnya berkaitan dengan sentimen agama acap kali didahului dengan cara pandang atas agama yang reaktif.
Singkatnya, sesuatu yang sedikit saja dapat menyinggung perasaan keagamaan kita dicap! Itu menghina. Kita patut tersinggung. Padahal, sekali lagi, kadang-kadang kita sendiri belum tahu persis substansinya. Ini seperti cerita Salman Rusdi dengan ayat-ayat setannya (The Satanic Versies). Novel yang menghebohkan. Novel yang mendorong Imam Khomeini memutuskan hukuman mati kepada penulisnya. Kita, mungkin saja sampai hari ini pun belum sempat membaca novel itu. Jangankan membacanya. Melihat saja buku itu jangan-jangan belum pernah.
Sama halnya dengan pendapat umum kita tentang film Fitna, karya Geertz Wilders, seorang anggota parlemen Belanda. Film yang dianggap menghina umat Islam. Menjelek-jelekkan Kanjeng Nabi, dan seterusnya. Segera setelah itu reaksi kita menjalar dari segala penjuru. Sampai di sini saya berpikir apakah tugas keberagamaan kita selalu berawal dari reaksi atas sesuatu. Semakin tinggi reaksi kita semakin baik cara kita beragama. Apakah harus begitu? Wallahu’alam.
Lalu saya ceritakan kepada teman saya itu sebuah riwayat. Seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Padahal dirinya juga bernasib sama. Sampai kemudian si pelacur tadi meninggal. Rahmat Tuhanlah, sifatnya yang rahman-rahim itu menyelamatkannya dari api neraka. Para da’i maupun khatib biasa dan sering mendengar riwayat ini.
Teman saya tercenung sejenak. Tatapan matanya ingin mengatakan sesuatu. Tak kunjung pula saya mendengar kalimatnya. Sampai kemudian ia berkata: Kalau begitu Thomas Alpha Edison pun akan masuk surga, katanya. Saya kembali mengatakan: belum tentu! Teman saya membantah. Lha, pelacur saja yang amalnya begitu di menit-menit akhir hidupnya bisa masuk surga, kenapa Thomas Alpha Edison, penemu bola lampu listrik itu belum tentu masuk surga, sergahnya.
Saya katakan padanya: masalah kita bukan soal surga-neraka. Kita sedang bicara tentang rahmat Tuhan yang maha kasih itu, sambil diam-diam saya memuji teman saya yang mulai kritis itu. Karena tidak puas, teman saya bilang: kamu ngaco! Ya sudahlah, kataku pelan. Mungkin kita berdiri pada sisi yang berbeda dalam melihat agama, kataku dalam hati.
Dari cerita itu saya ingin katakan bahwa kita sering bereaksi atas sesuatu sebelum mencoba melihat sesuatu itu dari sudut pandang yang lebih luas. Seperti kasus teman saya tadi, seolah-olah hidup adalah ambang batas surga-neraka. Cara kita bereaksi atas kasus-kasus, peristiwa-peristiwa tertentu, khususnya berkaitan dengan sentimen agama acap kali didahului dengan cara pandang atas agama yang reaktif.
Singkatnya, sesuatu yang sedikit saja dapat menyinggung perasaan keagamaan kita dicap! Itu menghina. Kita patut tersinggung. Padahal, sekali lagi, kadang-kadang kita sendiri belum tahu persis substansinya. Ini seperti cerita Salman Rusdi dengan ayat-ayat setannya (The Satanic Versies). Novel yang menghebohkan. Novel yang mendorong Imam Khomeini memutuskan hukuman mati kepada penulisnya. Kita, mungkin saja sampai hari ini pun belum sempat membaca novel itu. Jangankan membacanya. Melihat saja buku itu jangan-jangan belum pernah.
Sama halnya dengan pendapat umum kita tentang film Fitna, karya Geertz Wilders, seorang anggota parlemen Belanda. Film yang dianggap menghina umat Islam. Menjelek-jelekkan Kanjeng Nabi, dan seterusnya. Segera setelah itu reaksi kita menjalar dari segala penjuru. Sampai di sini saya berpikir apakah tugas keberagamaan kita selalu berawal dari reaksi atas sesuatu. Semakin tinggi reaksi kita semakin baik cara kita beragama. Apakah harus begitu? Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment