Di masa lalu, apa yang mendorong orang-orang pesantren, alim ulama, dan kiai untuk menulis? Jelas di masa itu, Indonesia kini, masih bernama Hindia-Belanda. Bahkan jauh sebelum Hindia-Belanda, mungkin masih bernama Bumi Mataram, Tanah Pasundan, dan atau sebutan lain di luar itu.
Jaman itu, kita juga belum mengenal mesin cetak, yang mampu menghadirkan sebuah buku (kitab) sampai beribu eksemplar jumlahnya dalam satu kali hentak. Bahkan belum ada istilah royalti, copyrights, dsb. Barangkali mereka menulis di daun lontar, pelepah damar. Bukan kertas seperti yang bisa kita lihat dan gunakan sekarang. Dengan segala keterbatasan, tak menghalangi produktivitas dalam berkarya.
Hingga kini, karya-karya itu masih kita baca. Sebagian sudah diterjemahkan. Sebagian lagi masih tersimpan dalam bentuk manuskrip. Mungkin pula mikro film. Tak terhitung jumlahnya yang hilang. Lapuk dimakan usia. Atau terbuang sia-sia. Para ahli waris, disadari atau tidak, dan mungkin karena tidak terbiasa merawat masa lalu, membiarkan sebagian karya itu ditelan alam. Dari waktu ke waktu. Dari jaman ke jaman. Dari musim ke musim. Sebagian dari mereka barangkali tinggal sebuah cerita lisan. Mitos yang dihadirkan untuk sebuah keyakinan dan penghormatan masa lalu yang penuh emas.
Jadi, apa yang mendorong mereka menulis? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang dan berliku. Namun, dari mereka kita pelan-pelan semakin mengerti masa lalu. Kadang kita jumpai dalam bentuk dongeng, babad dan cerita-cerita dalam manakib. Dibaca dalam setiap acara haul. Mengenang mereka dengan penuh rasa takzim.
Orang-orang pesantren, dari dulu dan bahkan hingga kini, tak pernah surut dalam menulis. Apapun yang mereka pikirkan. Dari mana saja gagasan mereka berasal. Menulis, pada akhirnya menjadi kultur dalam tradisi pesantren. Terlepas bahwa ini disadari atau sebagian di antaranya lebih sebagai usaha memahami ajaran-ajaran dan wejangan-wejangan. Menerjemahkan kalimat, memahami kata, menghapal bait demi bait karangan. Begitu seterusnya. Berlangsung dalam sekian abad. Sampai sekarang dan sulit rasanya untuk mengatakan akan hilang sebagai legenda. Begitulah. Orang-orang pesantren kemudian melahirkan para penulis. Berkarya untuk masyarakat.
Sekurang-kurangnya, tradisi itu muncul dari dua pandangan:
Pertama, pandangan teologis. Menyebarkan ilmu adalah ibadah. Tak ada pikiran, niat untuk meraih popularitas, feedback ekonomi. Dan dasar dari dorongan itu adalah cinta ilmu sebagai bagian dari cinta ilahi.
Kedua, pandangan sosiologis. Ilmu harus diwariskan kepada masyarakat. Di luar tradisi menghapal, metode yang juga dianggap penting adalah menuliskan ilmu itu menjadi berlembar-lembar buku (kitab). Dari kedua tradisi itu, transferensi ajaran, kaidah-kaidah normatif kehidupan masyarakat disebarkan. Itulah mengapa pesantren tak sepi peminat para pencari ilmu. Tak kurang para penulis lahir dan dibesarkan dari kultur pesantren. Di masa lalu kita mengenal Syaikh Somad al-Palimbani, Syaikh rauf al-Sinkili, Syaikh Mahfudz al-Tarmasi, Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Kholil Bangkalan, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Syaikh Soleh Darat, Syaikh Yusuf al-Makasari, dan lain-lain. Karya-karya mereka hingga kini masih dibaca di pesantren-pesantren nusantara, bahkan sampai negara tetangga.
Di masa kini juga tumbuh dan lahir para penulis pesantren, semisal; Gus Mus, D Zawawi Imran, Mahbub Junaedi (Alm.), Ahmad Tohari, Agus Sunyoto dan sejumlah penulis muda seperti; Mahbub Jamaludin, Sachree M. Daroini, Zacky Zarung, Pijer Sri Laswiji, Ismah Kaze, Fina, Maya, dan masih seabreg para muda belia pesantren lainnya. Dengan tradisi dan metode yang baru. Dengan kultur dan tradisi yang sedikit berbeda dari dulu. Tapi, inti dari semua produktivitas kepenulisan itu tak lain; penyebaran dan pewarisan ilmu dari waktu ke waktu. Wallahu a'lam.
Jaman itu, kita juga belum mengenal mesin cetak, yang mampu menghadirkan sebuah buku (kitab) sampai beribu eksemplar jumlahnya dalam satu kali hentak. Bahkan belum ada istilah royalti, copyrights, dsb. Barangkali mereka menulis di daun lontar, pelepah damar. Bukan kertas seperti yang bisa kita lihat dan gunakan sekarang. Dengan segala keterbatasan, tak menghalangi produktivitas dalam berkarya.
Hingga kini, karya-karya itu masih kita baca. Sebagian sudah diterjemahkan. Sebagian lagi masih tersimpan dalam bentuk manuskrip. Mungkin pula mikro film. Tak terhitung jumlahnya yang hilang. Lapuk dimakan usia. Atau terbuang sia-sia. Para ahli waris, disadari atau tidak, dan mungkin karena tidak terbiasa merawat masa lalu, membiarkan sebagian karya itu ditelan alam. Dari waktu ke waktu. Dari jaman ke jaman. Dari musim ke musim. Sebagian dari mereka barangkali tinggal sebuah cerita lisan. Mitos yang dihadirkan untuk sebuah keyakinan dan penghormatan masa lalu yang penuh emas.
Jadi, apa yang mendorong mereka menulis? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang dan berliku. Namun, dari mereka kita pelan-pelan semakin mengerti masa lalu. Kadang kita jumpai dalam bentuk dongeng, babad dan cerita-cerita dalam manakib. Dibaca dalam setiap acara haul. Mengenang mereka dengan penuh rasa takzim.
Orang-orang pesantren, dari dulu dan bahkan hingga kini, tak pernah surut dalam menulis. Apapun yang mereka pikirkan. Dari mana saja gagasan mereka berasal. Menulis, pada akhirnya menjadi kultur dalam tradisi pesantren. Terlepas bahwa ini disadari atau sebagian di antaranya lebih sebagai usaha memahami ajaran-ajaran dan wejangan-wejangan. Menerjemahkan kalimat, memahami kata, menghapal bait demi bait karangan. Begitu seterusnya. Berlangsung dalam sekian abad. Sampai sekarang dan sulit rasanya untuk mengatakan akan hilang sebagai legenda. Begitulah. Orang-orang pesantren kemudian melahirkan para penulis. Berkarya untuk masyarakat.
Sekurang-kurangnya, tradisi itu muncul dari dua pandangan:
Pertama, pandangan teologis. Menyebarkan ilmu adalah ibadah. Tak ada pikiran, niat untuk meraih popularitas, feedback ekonomi. Dan dasar dari dorongan itu adalah cinta ilmu sebagai bagian dari cinta ilahi.
Kedua, pandangan sosiologis. Ilmu harus diwariskan kepada masyarakat. Di luar tradisi menghapal, metode yang juga dianggap penting adalah menuliskan ilmu itu menjadi berlembar-lembar buku (kitab). Dari kedua tradisi itu, transferensi ajaran, kaidah-kaidah normatif kehidupan masyarakat disebarkan. Itulah mengapa pesantren tak sepi peminat para pencari ilmu. Tak kurang para penulis lahir dan dibesarkan dari kultur pesantren. Di masa lalu kita mengenal Syaikh Somad al-Palimbani, Syaikh rauf al-Sinkili, Syaikh Mahfudz al-Tarmasi, Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Kholil Bangkalan, Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Syaikh Soleh Darat, Syaikh Yusuf al-Makasari, dan lain-lain. Karya-karya mereka hingga kini masih dibaca di pesantren-pesantren nusantara, bahkan sampai negara tetangga.
Di masa kini juga tumbuh dan lahir para penulis pesantren, semisal; Gus Mus, D Zawawi Imran, Mahbub Junaedi (Alm.), Ahmad Tohari, Agus Sunyoto dan sejumlah penulis muda seperti; Mahbub Jamaludin, Sachree M. Daroini, Zacky Zarung, Pijer Sri Laswiji, Ismah Kaze, Fina, Maya, dan masih seabreg para muda belia pesantren lainnya. Dengan tradisi dan metode yang baru. Dengan kultur dan tradisi yang sedikit berbeda dari dulu. Tapi, inti dari semua produktivitas kepenulisan itu tak lain; penyebaran dan pewarisan ilmu dari waktu ke waktu. Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment