Zawawi Imron, kiai sekaligus penyair dari pulau garam mengemukakan bahwa perkembangan sastra pesantren berjalan seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri. Hanya saja, per definisi, masih cukup kesulitan untuk memaknai apa yang dimaksud dengan sastra pesantren? Apakah disebut demikian karena karya-karya sastra itu, misalnya, dilatari oleh dinamika kehidupan pesantren?, atau para penulisnya (sastrawan) itu yang dilahirkan dari rahim tradisi pesantren.
Dalam berbagai wacana perbincangan soal ini keduanya selalu memperlihatkan kecenderungan silang sengkarut tentang pengertian dan maksud daripadanya. Namun, apapun istilahnya, begitulah cara yang biasa dilakukan untuk memudahkan wacana, kedua pengertian tersebut bisa digunakan dalam waktu bersamaan atau dalam konteks apa keduanya dapat menjelaskan secara sendiri-sendiri.
Secara umum, sastra pesantren pada akhirnya adalah sebuah karya sastra yang bercorak pesantren; baik dari aspek normatifitasnya, tradisi, para pelaku dengan segala keseluruhannya. Itulah mengapa misalnya, kita mengenal orang-orang seperti; Ahmad Tohari, Musthofa Bisri, Agus Sunyoto dan beberapa nama lain. Mereka semua jelas sangat dekat dan bahkan sehari-hari berada di lingkungan di mana komunitas orang sarungan belajar mengaji dan beberapa di antaranya mengembangkan imaji mereka untuk menulis dan menghasilkan karya-karya yang tidak kalah aspek estetika sastrawinya.
Belakangan, melalui berbagai karya-karya mereka yang lebih bervariatif, sastra pesantren semakin kelihatan bentuk dan potensi-potensinya. Jika dahulu kita lebih banyak mengenal beragam jenis suluk, maka saat ini karya sastra –apapun bentuk—dan orientasinya lahir dan sangat diminati. Pertanyaan yang kerap terlontar secara under estimate, “kok bisa ya orang pesantren menulis seperti itu?”. Sebuah pertanyaan yang kadang-kadang muncul dari kesombongan namun sekaligus rasa rendah diri melihat geliat tradisi dan budaya baca-tulis di pesantren beranjak cepat di luar yang diperkirakan sebelumnya.
Jelaslah, tradisi pengajian kitab kuning (model sorogan dan bandongan) telah ikut memberikan pengaruh signifikan bagi munculnya kegairahan menulis di kalangan para santri. Dari mendengarkan, memberikan arti sampai mencoba meraba dan memaknai makna mendorong terbentuknya ‘nalar bahasa’ (sastrawi) di benak para santri. Dari sanalah mulai berhembus angin kemajuan dari sebuah tradisi yang dianggap kuno dan penuh kejumudan. Sebuah tradisi yang telah berumur ratusan tahun namun diam-diam memberikan petunjuk kepada kita tentang besarnya potensi pesantren dalam melahirkan generasi para penulis melebihi apa yang dapat dilakukan pendidikan-pendidikan formal lainnya.
Dalam berbagai wacana perbincangan soal ini keduanya selalu memperlihatkan kecenderungan silang sengkarut tentang pengertian dan maksud daripadanya. Namun, apapun istilahnya, begitulah cara yang biasa dilakukan untuk memudahkan wacana, kedua pengertian tersebut bisa digunakan dalam waktu bersamaan atau dalam konteks apa keduanya dapat menjelaskan secara sendiri-sendiri.
Secara umum, sastra pesantren pada akhirnya adalah sebuah karya sastra yang bercorak pesantren; baik dari aspek normatifitasnya, tradisi, para pelaku dengan segala keseluruhannya. Itulah mengapa misalnya, kita mengenal orang-orang seperti; Ahmad Tohari, Musthofa Bisri, Agus Sunyoto dan beberapa nama lain. Mereka semua jelas sangat dekat dan bahkan sehari-hari berada di lingkungan di mana komunitas orang sarungan belajar mengaji dan beberapa di antaranya mengembangkan imaji mereka untuk menulis dan menghasilkan karya-karya yang tidak kalah aspek estetika sastrawinya.
Belakangan, melalui berbagai karya-karya mereka yang lebih bervariatif, sastra pesantren semakin kelihatan bentuk dan potensi-potensinya. Jika dahulu kita lebih banyak mengenal beragam jenis suluk, maka saat ini karya sastra –apapun bentuk—dan orientasinya lahir dan sangat diminati. Pertanyaan yang kerap terlontar secara under estimate, “kok bisa ya orang pesantren menulis seperti itu?”. Sebuah pertanyaan yang kadang-kadang muncul dari kesombongan namun sekaligus rasa rendah diri melihat geliat tradisi dan budaya baca-tulis di pesantren beranjak cepat di luar yang diperkirakan sebelumnya.
Jelaslah, tradisi pengajian kitab kuning (model sorogan dan bandongan) telah ikut memberikan pengaruh signifikan bagi munculnya kegairahan menulis di kalangan para santri. Dari mendengarkan, memberikan arti sampai mencoba meraba dan memaknai makna mendorong terbentuknya ‘nalar bahasa’ (sastrawi) di benak para santri. Dari sanalah mulai berhembus angin kemajuan dari sebuah tradisi yang dianggap kuno dan penuh kejumudan. Sebuah tradisi yang telah berumur ratusan tahun namun diam-diam memberikan petunjuk kepada kita tentang besarnya potensi pesantren dalam melahirkan generasi para penulis melebihi apa yang dapat dilakukan pendidikan-pendidikan formal lainnya.
No comments:
Post a Comment