Buku “Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, yang ditulis M.O. Parlindungan, generasi ke V dari Tuanku Lelo (Idris Nasution), diterbitkan kembali oleh LKiS (2007). Buku ini terbit pertamakali tahun 1964. Sejak itu, buku ini telah memicu kontroversi dan perdebatan sejarah yang cukup panjang. Bukan hanya di kalangan masyarakat Minang yang merasa disentuh sisi paling sensitif dari mereka. Di kalangan masyarakat Batak sendiri juga memunculkan pendapat yang berbeda-beda. Apa yang mendorong penerbit LKiS menerbitkan kembali buku ini?
Sejak awal, salah satu fokus penerbitan buku-buku LKiS, di luar kajian-kajian keislaman, antara lain; hal ihwal yang berkaitan dengan kajian atas sejarah lokal. Penerbitan atas kajian-kajian sejarah lokal ini menjadi penting terutama untuk menunjukkan kekayaan sosio-kultural masa lalu kita. Karena, di masa lalu, sejak Orde Baru berkuasa kekayaan kita itu cenderung dimatikan. Kecuali, kajian-kajian tersebut diarahkan untuk kepentingan, misalnya, kebudayaan mazhab negara dan perkembangan dunia pariwisata. Itulah, mengapa kemudian LKiS terdorong untuk menerbitkan karya-karya klasik sejarah kita.
Di kalangan anak-anak muda sekarang, amatlah sedikit dari mereka yang mau belajar dan memiliki kesadaran sejarah. Arus besar kebudayaan pop telah menghanyutkan anak-anak muda sekarang berada di alam impian dan dunia antah berantah. Cara hidup permisive, tidak peduli dengan keadaan menjadi bagian yang cukup kental dalam dinamika kaum muda kita dewasa ini. Lambat laun, mereka akan semakin tercerabut dari akar masa lalu mereka. Belajar dari masa lalu sejarah, dalam pandangan ini menjadi keharusan dalam pembentukkan identitas sebuah bangsa.
Kajian-kajian atas sejarah masa lalu nusantara, misalnya, penting dilakukan, bukan untuk ditempatkan dalam konteks pemberhalaan dan atau glorifikasi, dsb. Kajian-kajian itu semestinya ditempatkan dalam konteks mencari pijakan untuk menentukan arah masa depan diri kita sendiri. Jepang dan belakangan India menjadi contoh bagaimana masa lalu mereka menjadi inspirasi dan jembatan menuju masa depan mereka sendiri. Menjadi modern bukan berarti kehilangan akar sejarah masa lalu diri kita sendiri.
Tentu saja karena keterbatasan dalam banyak hal, penerbit LKiS lebih mengarahkan untuk menerbitkan karya-karya klasik dalam pengertian documentation. Perlu ada upaya-upaya khusus penyelamatan atas karya-karya dan kajian-kajian para sejarawan. Ke sana kita bercermin, merencanakan jalan dan mewujudkan impian kita tentang komunitas masyarakt suku bangsa besar di kepulauan nusantara.
Seputar Terbitnya Buku Tuanku Rao
Selama kurun waktu 10 tahun sejak terbitnya buku Parlindungan ini, dalam pembacaan penulis, ada dua arus besar kritik atas buku ini. Yakni; aspek metodologi dan sistimatika kepenulisan dan penyajian atas data-data dan fakta-fakta yang diceritakan dalam buku ini. Dalam pandangan tradisi kepenulisan sejarah, buku ini dianggap menyalahi kaidah-kaidah normatif historiografi, cenderung ngawur dan penuh khayalan. Begitu kesan penulis, saat membaca buku Prof. Hamka: Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974).
Jika kita membaca karya Hamka dalam membantah Parlindungan jelas kelihatan bahwa Hamka tak lebih dari seorang Minang daripada statusnya sebagai seorang ulama. Bantahan Hamka sarat dengan emosi dan sentimen, sehingga kadang-kadang tidak proporsional disebut sebagai perdebatan akademik. Bantahan Hamka ini, pada akhirnya juga harus dimaklumi oleh karena Parlindungan pun terkesan terjebak dengan emosi dan sentimen yang sama.
Hanya saja, yang membedakan kedua orang ini dengan situasi yang sama di masa sekarang barangkali sulit dicari padanannya. Susah membayangkan di masa sekarang ‘permusuhan’ sekaligus pertemanan yang saling menopang di antara dua orang yang berbeda pendapat. Keduanya barangkali memberi pelajaran bahwa perbedaan cara pandang tidak dengan serta merta memutus persaudaraan mereka sebagai anak bangsa.
Berbeda dengan Hamka, De Graaf (1984:1998) memberikan penilaian atas karya Parlindungan ini sebagai sebuah dugaan dan fantasi. Kritik De Graaf utamanya diarahkan pada peranan orang-orang Cina dalam proses masuknya Islam di nusantara sebagaimana termuat dalam lampiran-lampiran dalam karya Parlindungan. Namun, demikian De Graaf, juga menganggap bahwa tidak seluruhnya dari informasi Parlindungan itu bersifat dugaan, fantasi dan mengada-ada. Untuk sebagian di antaranya sangat mungkin terjadi. Berkaitan dengan komentar De Graaf ini dapat dilihat dalam buku, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI :Antara Historisitas dan Mitos (Tiara Wacana:1984:1998). Bandingkan juga dengan karya Slamet Mulyana: Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (LKiS: 2005).
Baik Hamka maupun De Graaf, dalam pandangan penulis tidak secara utuh memberikan penilaian proporsional atas karya Parlindungan. Penulis memaklumi apa yang dikemukakan De Graaf oleh karena ia tidak dalam konteks memberikan apresiasi atas karya Parlindungan. Selain, bahwa dirinya mencoba mempelajari lampiran-lampiran dalam karya Parlindungan itu sendiri dan membandingkannya dengan karya-karya lain. Perhatian De Graaf lebih banyak diarahkan kepada tema tentang masuknya Islam di Nusantara dan peranan orang-orang Cina di dalamnya. Disamping itu, De Graaf berusaha membandingkan sumber-sumber informasi Parlindungan dengan catatan-catatan orang Belanda dan naskah-naskah dari hikayat Melayu maupun dari naskah-naskah serat dan babad yang banyak terdapat di Jawa. Sementara Hamka, mungkin karena merasa lebih mengerti Islam daripada Parlindungan, terjebak pada kepentingan emosional dan sentimen Batak-Minang. Inilah mengapa karya Hamka ini sangat berbeda rasa dan mutunya bila kita mencoba membaca karya-karya Hamka lainnya.
Setelah kontroversi dan perdebatan di 10 tahun pertama terbitnya karya Parlindungan ini, rasanya sangatlah tidak signifikan apabila kita juga kembali lagi kepada kontroversi dan perdebatan yang sama. Karya Parlindungan ini semestinya di dekati dalam konteks apa yang disebut dalam teori sastra sebagai pendekatan apresiasi dan resepsi atas sebuah karya. Pendekatan ini juga mengandaikan kita dapat melihat dari sisi lain atau perspektif dunia batin pengarang sekaligus mencoba mengerti latar sosio-kultural yang melatarinya. Apa yang disajikan Parlindungan harus pula dilihat dari sisi apa yang memotivasi dirinya untuk membeberkan sejumlah rahasia keluarga dan merelakannya dibaca publik.
*****
Di satu sisi, penulis memahami keterbatasan Parlindungan sebagai seorang pensiunan tentara, tetapi memiliki kemampuan menulis yang jarang dimiliki oleh tentara-tentara kita sekarang. Bagi kita yang terbiasa membaca tulisan, khususnya kajian-kajian sejarah, dengan pasti akan mengatakan bahwa karya Parlindungan ini sebagai bentuk kepenulisan sejarah yang in-conventional. Keluar dari adat kebiasaan normatif kepenulisan sejarah. Bagi penulis, karya Parlindungan ini merupakan salah satu bentuk ‘perlawanan’ atas tradisi dan hegemoni kepenulisan sejarah yang sangat didominasi oleh kaidah-kaidah normatif akademik, bagaimana sejarah seharusnya ditulis.
Parlindungan mencoba menawarkan sebuah bentuk kepenulisan yang lain atas kajian-kajian sejarah. Sebagaimana kita tahu, karya-karya memoar, novel, dsb., dalam konteks kajian sejarah tidaklah dipandang sebagai sumber utama penggalian sejarah. Salah satu sebab dari ini antara lain; karya-karya jenis seperti itu dianggap lebih mengedepankan imaji (fiksi) daripada rasionalitas. Dan, oleh karena itu sulit dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Cara berpikir seperti ini, bagi penulis cenderung ahistoris. Bukankah karya-karya penulis klasik nusantara lebih banyak didominasi oleh bentuk-bentuk fiksi seperti babad dan hikayat. Dan, harus diakui bahwa masyarakat nusantara sejak dulu adalah masyarakat berpantun yang punya cara menulis melalui pendekatan sastrawi daripada tradisi kepenulisan yang dominan sekarang, khususnya karya-karya akademis.
Usaha yang dilakukan Parlindungan pada akhirnya menjadi pertanyaan kita sekarang, bagaimana sejarah seharusnya ditulis? Apakah bentuk-bentuk kepenulisan sejarah yang keluar dari kaidah-kaidah normatif akademis dapat dijadikan sebagai referensi kajian-kajian kesejarahan kita? Atau, apakah bentuk kepenulisan seperti itu sama sekali dianggap minus dan karenanya tidak cocok dengan tradisi kepenulisan kita sekarang? Dalam pandangan penulis, apa yang disajikan dalam karya Parlindungan dapat dianggap sebagai upaya untuk melihat sejarah dari sisi lain, yakni; apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai “sisi balik senyap” dari sejarah. Suatu cara pandang yang berbeda dari kecenderungan kepenulisan sejarah “resmi” yang sejauh ini ditulis dan biasa kita kunyah. Wallahu’alam.
Sejak awal, salah satu fokus penerbitan buku-buku LKiS, di luar kajian-kajian keislaman, antara lain; hal ihwal yang berkaitan dengan kajian atas sejarah lokal. Penerbitan atas kajian-kajian sejarah lokal ini menjadi penting terutama untuk menunjukkan kekayaan sosio-kultural masa lalu kita. Karena, di masa lalu, sejak Orde Baru berkuasa kekayaan kita itu cenderung dimatikan. Kecuali, kajian-kajian tersebut diarahkan untuk kepentingan, misalnya, kebudayaan mazhab negara dan perkembangan dunia pariwisata. Itulah, mengapa kemudian LKiS terdorong untuk menerbitkan karya-karya klasik sejarah kita.
Di kalangan anak-anak muda sekarang, amatlah sedikit dari mereka yang mau belajar dan memiliki kesadaran sejarah. Arus besar kebudayaan pop telah menghanyutkan anak-anak muda sekarang berada di alam impian dan dunia antah berantah. Cara hidup permisive, tidak peduli dengan keadaan menjadi bagian yang cukup kental dalam dinamika kaum muda kita dewasa ini. Lambat laun, mereka akan semakin tercerabut dari akar masa lalu mereka. Belajar dari masa lalu sejarah, dalam pandangan ini menjadi keharusan dalam pembentukkan identitas sebuah bangsa.
Kajian-kajian atas sejarah masa lalu nusantara, misalnya, penting dilakukan, bukan untuk ditempatkan dalam konteks pemberhalaan dan atau glorifikasi, dsb. Kajian-kajian itu semestinya ditempatkan dalam konteks mencari pijakan untuk menentukan arah masa depan diri kita sendiri. Jepang dan belakangan India menjadi contoh bagaimana masa lalu mereka menjadi inspirasi dan jembatan menuju masa depan mereka sendiri. Menjadi modern bukan berarti kehilangan akar sejarah masa lalu diri kita sendiri.
Tentu saja karena keterbatasan dalam banyak hal, penerbit LKiS lebih mengarahkan untuk menerbitkan karya-karya klasik dalam pengertian documentation. Perlu ada upaya-upaya khusus penyelamatan atas karya-karya dan kajian-kajian para sejarawan. Ke sana kita bercermin, merencanakan jalan dan mewujudkan impian kita tentang komunitas masyarakt suku bangsa besar di kepulauan nusantara.
Seputar Terbitnya Buku Tuanku Rao
Selama kurun waktu 10 tahun sejak terbitnya buku Parlindungan ini, dalam pembacaan penulis, ada dua arus besar kritik atas buku ini. Yakni; aspek metodologi dan sistimatika kepenulisan dan penyajian atas data-data dan fakta-fakta yang diceritakan dalam buku ini. Dalam pandangan tradisi kepenulisan sejarah, buku ini dianggap menyalahi kaidah-kaidah normatif historiografi, cenderung ngawur dan penuh khayalan. Begitu kesan penulis, saat membaca buku Prof. Hamka: Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974).
Jika kita membaca karya Hamka dalam membantah Parlindungan jelas kelihatan bahwa Hamka tak lebih dari seorang Minang daripada statusnya sebagai seorang ulama. Bantahan Hamka sarat dengan emosi dan sentimen, sehingga kadang-kadang tidak proporsional disebut sebagai perdebatan akademik. Bantahan Hamka ini, pada akhirnya juga harus dimaklumi oleh karena Parlindungan pun terkesan terjebak dengan emosi dan sentimen yang sama.
Hanya saja, yang membedakan kedua orang ini dengan situasi yang sama di masa sekarang barangkali sulit dicari padanannya. Susah membayangkan di masa sekarang ‘permusuhan’ sekaligus pertemanan yang saling menopang di antara dua orang yang berbeda pendapat. Keduanya barangkali memberi pelajaran bahwa perbedaan cara pandang tidak dengan serta merta memutus persaudaraan mereka sebagai anak bangsa.
Berbeda dengan Hamka, De Graaf (1984:1998) memberikan penilaian atas karya Parlindungan ini sebagai sebuah dugaan dan fantasi. Kritik De Graaf utamanya diarahkan pada peranan orang-orang Cina dalam proses masuknya Islam di nusantara sebagaimana termuat dalam lampiran-lampiran dalam karya Parlindungan. Namun, demikian De Graaf, juga menganggap bahwa tidak seluruhnya dari informasi Parlindungan itu bersifat dugaan, fantasi dan mengada-ada. Untuk sebagian di antaranya sangat mungkin terjadi. Berkaitan dengan komentar De Graaf ini dapat dilihat dalam buku, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI :Antara Historisitas dan Mitos (Tiara Wacana:1984:1998). Bandingkan juga dengan karya Slamet Mulyana: Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (LKiS: 2005).
Baik Hamka maupun De Graaf, dalam pandangan penulis tidak secara utuh memberikan penilaian proporsional atas karya Parlindungan. Penulis memaklumi apa yang dikemukakan De Graaf oleh karena ia tidak dalam konteks memberikan apresiasi atas karya Parlindungan. Selain, bahwa dirinya mencoba mempelajari lampiran-lampiran dalam karya Parlindungan itu sendiri dan membandingkannya dengan karya-karya lain. Perhatian De Graaf lebih banyak diarahkan kepada tema tentang masuknya Islam di Nusantara dan peranan orang-orang Cina di dalamnya. Disamping itu, De Graaf berusaha membandingkan sumber-sumber informasi Parlindungan dengan catatan-catatan orang Belanda dan naskah-naskah dari hikayat Melayu maupun dari naskah-naskah serat dan babad yang banyak terdapat di Jawa. Sementara Hamka, mungkin karena merasa lebih mengerti Islam daripada Parlindungan, terjebak pada kepentingan emosional dan sentimen Batak-Minang. Inilah mengapa karya Hamka ini sangat berbeda rasa dan mutunya bila kita mencoba membaca karya-karya Hamka lainnya.
Setelah kontroversi dan perdebatan di 10 tahun pertama terbitnya karya Parlindungan ini, rasanya sangatlah tidak signifikan apabila kita juga kembali lagi kepada kontroversi dan perdebatan yang sama. Karya Parlindungan ini semestinya di dekati dalam konteks apa yang disebut dalam teori sastra sebagai pendekatan apresiasi dan resepsi atas sebuah karya. Pendekatan ini juga mengandaikan kita dapat melihat dari sisi lain atau perspektif dunia batin pengarang sekaligus mencoba mengerti latar sosio-kultural yang melatarinya. Apa yang disajikan Parlindungan harus pula dilihat dari sisi apa yang memotivasi dirinya untuk membeberkan sejumlah rahasia keluarga dan merelakannya dibaca publik.
*****
Di satu sisi, penulis memahami keterbatasan Parlindungan sebagai seorang pensiunan tentara, tetapi memiliki kemampuan menulis yang jarang dimiliki oleh tentara-tentara kita sekarang. Bagi kita yang terbiasa membaca tulisan, khususnya kajian-kajian sejarah, dengan pasti akan mengatakan bahwa karya Parlindungan ini sebagai bentuk kepenulisan sejarah yang in-conventional. Keluar dari adat kebiasaan normatif kepenulisan sejarah. Bagi penulis, karya Parlindungan ini merupakan salah satu bentuk ‘perlawanan’ atas tradisi dan hegemoni kepenulisan sejarah yang sangat didominasi oleh kaidah-kaidah normatif akademik, bagaimana sejarah seharusnya ditulis.
Parlindungan mencoba menawarkan sebuah bentuk kepenulisan yang lain atas kajian-kajian sejarah. Sebagaimana kita tahu, karya-karya memoar, novel, dsb., dalam konteks kajian sejarah tidaklah dipandang sebagai sumber utama penggalian sejarah. Salah satu sebab dari ini antara lain; karya-karya jenis seperti itu dianggap lebih mengedepankan imaji (fiksi) daripada rasionalitas. Dan, oleh karena itu sulit dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Cara berpikir seperti ini, bagi penulis cenderung ahistoris. Bukankah karya-karya penulis klasik nusantara lebih banyak didominasi oleh bentuk-bentuk fiksi seperti babad dan hikayat. Dan, harus diakui bahwa masyarakat nusantara sejak dulu adalah masyarakat berpantun yang punya cara menulis melalui pendekatan sastrawi daripada tradisi kepenulisan yang dominan sekarang, khususnya karya-karya akademis.
Usaha yang dilakukan Parlindungan pada akhirnya menjadi pertanyaan kita sekarang, bagaimana sejarah seharusnya ditulis? Apakah bentuk-bentuk kepenulisan sejarah yang keluar dari kaidah-kaidah normatif akademis dapat dijadikan sebagai referensi kajian-kajian kesejarahan kita? Atau, apakah bentuk kepenulisan seperti itu sama sekali dianggap minus dan karenanya tidak cocok dengan tradisi kepenulisan kita sekarang? Dalam pandangan penulis, apa yang disajikan dalam karya Parlindungan dapat dianggap sebagai upaya untuk melihat sejarah dari sisi lain, yakni; apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai “sisi balik senyap” dari sejarah. Suatu cara pandang yang berbeda dari kecenderungan kepenulisan sejarah “resmi” yang sejauh ini ditulis dan biasa kita kunyah. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment