"Artikel ini saya posting untuk dibaca. Bagaimana salah satu kosa kata kita yang pertama kali dikenal di dunia barat adalah 'amuk'. Sebuah kata yang berkonotasi pada kultur kekerasan di negeri kepulauan ini. Selamat membaca!Catatan Orang-orang Eropa tentang Kekerasan di Indonesia di Masa Pra-Kolonial*
Oleh Sophia Malkasian**
Dalam upayanya memahami dan meredakan kekerasan di Indonesia dewasa ini, para sarjana dan sejarawan mencoba mencari akar-akar kekerasan itu.[1] Meski banyak jenisnya, kekerasan bisa didefinisikan sebagai “behaviour involving physical force intended to hurt, damage, or kill someone or something (New Oxford Dictionary 1998:2063).”[2] Membandingkan karakteristik, kondisi dan pelaku kekerasan dewasa ini dengan masa lalu dapat mengungkap pola dan perbedaan yang bisa membantu kita melihat mengapa dan bagaimana kekerasan terjadi. Sudah banyak ditulis kekerasan di masa Orde Baru, kekerasan di sekitar Gerakan 30 September 1965-1966, kekerasan pada masa revolusi dari 1945-1949, serta kekerasan pada zaman kekuasaan Belanda. Akan tetapi, para sarjana belum meluangkan usaha untuk membahas kekerasan pada masa prakolonialisme. Untuk mencari akan kekerasan, adalah perlu mengetahui kekerasan di Kepulauan Nusantara sebelum datangnya kekuasaan kolonial. Bagaimana kita bisa mengetahui kekerasan seperti apa yang terjadi pada masa itu?
Kita bisa memakai catatan-catatan pengelana, pedagang, misionaris, dan negarawan Eropa dari abad 16 hingga 19 untuk mengetahui masyarakat prakolonial di Kepulauan Nusantara.[3] Seperti akan kita lihat, bukti-bukti yang tercatat terlihat miskin perspektif, dan dalam banyak kasus terlalu dipengaruhi oleh agenda kolonial, untuk bisa benar-benar memahami karakteristik, kondisi dan pelaku kekerasan di kalangan masyarakat pribumi. Tetapi, catatan itu bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, yang seringkali brutal, terjadi di seluruh lapisan masyarakat seperti halnya dewasa ini. Orang-orang Eropa itu menceritakan kekerasan yang dilakukan oleh kerajaan, bangsawan, suku-suku, penjahat, orang-orang biasa, dan pemilik budak.
Bagian pertama dari makalah ini secara ringkas mendaftar beberapa penulis Eropa itu dan kapan karya mereka diterbitkan. Bagian kedua meringkaskan masalah dan keuntungan menggunakan catatan-catatan Eropa itu sebagai dasar pemahaman terhadap kekerasan pada zaman prakolonial. Cerita-cerita itu tidak bisa memberikan pemahaman menyeluruh bagaimana dan mengapa kekerasan terjadi, karena kurangnya verstehen (akan didefinisikan kemudian), terlalu Eurosentris dalam pandangan-pandangannya, dan dalam banyak kasus ditulis untuk membenarkan dan mengemukakan agenda kolonial. Tetapi, catatan-catatan itu tetaplah penting untuk mencari akar kekerasan karena bisa menunjukkan bahwa memang terjadi kekerasan, bahkan seringkali brutal. Bagian ketiga menganalisis ringkasan catatan-catatan untuk memberikan gambaran apa yang bisa dan tidak bisa mereka ceritakan kepada kita. Analisis ini akan memperlihatkan bahwa tindak kekerasan “amuck” secara konsisten terungkap dari catatan-catatan Eropa selama empat abad itu. “Amuck”, atau kadang-kadang disebut pula amok, adalah “frenzied and indiscriminate homicidal attack of an individual on a group of people, with suicidal intent; the attack was a response to a grave insult, and the death of the amok runner restored his dignity.”[4] Bagian terakhir makalah ini menyimpulkan tantangan menggunakan catatan-catatan Eropa untuk memahami sifat kekerasan zaman prakolonial, tetapi juga mempertimbangkan bagaiman laporan mereka itu bisa memberi jalan untuk memahami akar-akar kekerasan yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Catatan-catatan pertama orang Eropa mengenai yang dulu disebut Kepulauan India ditulis oleh, atau berdasarkan pengalaman, penjelajah Portugis seperti Ferdinand Magellan (dituliskan oleh Antonio Pigafetta) dan Tome Pires pada awal abad ke-16. Yang lain ditulis menjelang akhir abad ke-16 oleh pedagang-pedagang Italia, Belanda, dan Inggris, penjelajah Spanyol dan Perancis, serta misionaris Jesuit.[5]
Belakangan, pada abad ke-18, pengelana Belanda seperti John Splinter Stavorinus melanjutkan menjelajahi pulau-pulau di Nusantara. Mereka juga mencatatkan pengalamannya. Catatan-catatan mereka ini pada dasarnya adalah buku harian tentang perjalanan mereka yang panjang dan melelahkan. Gambaran awal tentang pulau-pulau dan penghuninya ini lebih berdasar pada pertemuan yang singkat, penampakan luar, dan bukan hasil dari riset yang serius.[6]
Berikutnya, pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke 19, ada tiga buku mengenai sejarah Nusantara yang kemudian banyak dibaca. Semua karya ini ditulis oleh orang Inggris, termasuk The History of Sumatra (terbit 1783) oleh William Marsden, The History of Java oleh Thomas Stamford Raffles (1817), dan History of the Indian Archipelago (1820) oleh John Crawfurd. Selain itu ada beberapa karya yang kurang ekstensif yang ditulis oleh para misionaris. Alfred Russel Wallace juga menyumbangkan catatannya yang terkenal dalam bukunya, The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan, and the Bird of Paradise, terbit pada 1869.
Banyak sarjana, seperti Clifford Geertz, Geoffrey Robinson, Adrian Vickers, Anthony Reid, Henk Schulte Nordholt, Alfon Van Der Kraan dan M.C. Ricklefs, telah membahas tindak-tindak kekerasan yang terjadi pada beberapa daerah pada masa prakolonial Indonesia, terutama yang bersangkutan dengan politik dan perang. Sebagian besar riset itu juga menggunakan sumber-sumber awal Eropa.
Misalnya, Robinson mengutip pengelana Belanda dan Perancis pada abad ke-19 untuk menunjukkan bahwa Bali bukanlah secara sosial sestabil dan seharmonis seperti yang digambarkan oleh beberapa catatan Belanda.[7] Reid merujuk ke Stavorinus (1798), E. Scott dalam Voyage to the Moluccas karya Sir Henry Middleton’s (1606), dan Eerste Schipvart (1598) untuk membahas perlakuan buruk dan penghukuman tehadap budak oleh para raja, serta revolusi kekerasan yang dilakukan oleh para budak.[8] Alfons Van Der Kraan, dalam artikel “The Nature of Balinese Rule on Lombok,” menggunakan sumber-sumber Belanda untuk menunjukkan betapa tiranik dan opresifnya orang Bali di Lombok pada abad ke-19.[9] Beberapa penulis ini melengkapi riset mereka dengan sumber-sumber asli seperti babad dan usana, tetapi sumber-sumber yang paling aksesible yang secara khusus menngungkapkan tindak-tindak kekerasan ditulis oleh orang-orang Eropa.
Catatan-catatan yang ditulis oleh pengarang-pengarang yang sudah disebutkan di atas, yang terentang sepanjang empat abad, tidak bisa membuat kita memahami secara persis bagaimana dan mengapa kekerasan terjadi pada masa prakolonial, untuk beberapa alasan. Pertama, mereka tidak memiliki verstehen,[10] kedua mereka tebatasi pandangan Eurosentris, dan ketiga dalam banyak kasus mereka melakukan pembenaran dan mengedepankan agenda kolonial.
Verstehen merujuk pada upaya untuk memahami baik niat maupun konteks tindakan-tindakan manusia.[11] Ia temasuk bagaimana memasuki pikiran Liyan (Others) dan memahami pemikiran mereka.[12] Dengan demikian, untuk memahami bagiamana kekerasan terjadi, kita harus memiliki akses pada pikiran, niat, dan perspektif pelakunya, bukan hanya interpretasi orang-orang Eropa pada tindakan-tindakan itu. Jika “bagi sejarah, objek yang ditemukan bukanlah sekadar kejadian-kejadian, tetapi pikiran-pikiran yang diekspresikan dalam tindakan-tindakan itu,”[13] maka sumber-sumber Eropa itu masih menyisakan banyak pertanyaan tak terjawab.
Problem kedua adalah bahwa catatan-catatan itu terbatasi oleh pandangan Eurosentris. Sebagai contoh, para penulis itu membuat generalisasi tentang penduduk pribumi berdasar nilai-nilai dan ideal-ideal Eropa. Adalah betul sejarah tidak dapat ditulis dengan sepenuhnya objektif. Sejarah akan selalu subjektif, karena “.. Kita tidak akan pernah menciptakan kembali masa lalu tepat seperti apa yang terjadi. Segala yang terjadi mestilah subjektif, atau diinterpretasikan. Tetapi itu tidak berarti bahwa semua interpretasi sama benarnya.” [14] Tatkala sebuah interpretasi berasal dari nilai-nilai yang tertanam kuat, serta melayani tujuan untuk membenarkan tindakan sekelompok masyarakat terhadap kelompok yang lain, maka kualitas interpretasi pada bukti-bukti sejarah haruslah diperiksa dengan mempertimbangkan perspektif dan penjelasan alternatif. Kesulitan memahami kekerasan sebelum masa kolonial Belanda adalah bahwa kita sebagian besar bersandar pada perspektif Eurosentris.
Narasi Inggris dan Belanda seringkali untuk melayani kepentingan pembenaran, anjuran, dan pujian tehadap kekuasaan kolonial. Tulisan mereka mencerminkan rasa superioritas moral dan sikap bahwa penduduk pribumi membutuhkan bantuan orang Eropa. Agenda kolonial mereka tentu saja mempengaruhi cerita-cerita yang mereka tampilkan dan bagaimana mereka menggambarkan subjek mereka, yang akibatnya membatasi pengetahuan kita tentang pelaku, karakteristik, dan kondisi kekerasan yang terjadi.
Meskipun ada kesulitan untuk memahami sifat kekerasan pada masa prakolonial. catatan-catatan orang Eropa itu menggambarkan kontinuitas aktifitas kekerasan dan tingkat brutalitasnya sepanjang abad-abad itu. Catatan awal oleh penjelajah Portugis seperti Pires secara khusus adalah penting, karena dia tidak memiliki alasan untuk membuat-buat. Sedangkan penulis yang lebih belakangan, seperti Raffles dan Crawfurd, harus menulis dalam bahasa yang diplomatis-politis untuk mencapai tujuan-tujuan kolonial mereka. Karena itu adalah sangat menolong jika kita membandingkan pandangan-pandangan itu seiring berjalannya waktu.
Telaah lebih teliti akan menggambarkan problem-problem dan manfaat-manfaat catatan-catatan itu. Catatan atas kekerasan di Nusantara menurut Pires, Stavorinus, Raffles, Crawfurd, Wallace dan sejarawan kontemporer seperti Geoffrey Robinson akan menjadi dasar analisis. Mereka mewakili lebih dari empat generasi orang-orang yang menyumbang secara siginifikan pada kajian sejarah Indonesia.
The Suma Oriental, karya Tome Pires, “.. selain menjadi catatan yang paling ekstensif mengenai Timur oleh orang Portugis, juga menjadi deskripsi orang Eropa pertama tentang Malasia [sic].”[15] Tome Pires was “..adalah seorang farmasiwan dari Lisbon yang tinggal di Malaka pada 1512-1515, sesaat setelah penaklukan Malaka oleh Portugis pada 1511. Dia bertandang ke Jawa dan Sumatra, dan dengan semangat mengumpulkan informasi dari yang lain mengenai daerah Malay-Indonesia.”[16] Rujukannya tentang kekerasan biasanya ringkas, sekadar menggambarkan fakta, dan menyatu dengan penggambarannya tentang penduduk secara umum, kerajaan-kerajaan serta perang.
Misalnya, Pires menulis bahwa .. “di pulau Sumatra, sebagian besar raja adalah Muslim (Moor) dan sebagian lagi bukan; dan di daerah yang bukan Muslim tadi beberapa orang mempraktekkan memakan daging musuh jika mereka berhasil mengalahkannya.” [17] Atau dalam contoh lain, dia menggambarkan bahwa kerajaan Pedir “selalu dalam keadaan perang dengan tetangga-tetangganya.”[18]
Dalam bab tentang Jawa, Pires memperkenalkan kebiasaan amuk (running amuck), yang belakangan kita lihat banyak penulis Eropa menulis tentangnya:
There are among the nations no men who are amocos like those in the Javanese nation. Amocos means men who are determined to die (to run amuck). Some of them do it when they are drunk, and these are the common people; but the noblemen are much in the habit of challenging each other to duels, and they kill each other over their quarrels; and this is the custom of the country. Some of them kill themselves on horseback, and some of them on foot, according to what they have decided.[19]
Pires tidak berusaha mencari tahu mengapa orang-orang itu bekeras untuk mati, dan dia hanya menggambarkan bentuk bunuh diri sebagai kebiasaan daerah-daerah itu. Apakah “rakyat biasa,” yang dia rujuk itu, adalah orang-orang tertindas? Apakah para bangsawan yang saling menantang untuk duel itu berkeras untuk mati atau mereka berkeras untuk membunuh? Apakah duel adalah salah satu bentuk amocos? Selain mabuk, kita tidak mengetahui kondisi apa yang menyebabkan amuk terjadi, juga kita tidak tahu motif-motif yang melakukannya. Lebih lanjut lagi, bagaimana amocos, seperti yang dia definisikan, ada bedanya dengan bunuh diri dalam tradisi dari mana Pires berasal?
Kebiasaan lain yang digambarkan Pires adalah bahwa “.. tak seorangpun laki-laki berumur antara dua belas hingga delapan puluh tahun keluar rumah tanpa menyandang keris di pinggangnya.” Lagi, Pires tidak menyelidiki mengapa demikian, dan dia hanya melaporkan bahwa itu adalah “ … hukum di Jawa tentang penduduknya.” [20] Pires melaporkan secara sederhana dari apa yang dilihatnya dan jarang mencari tahu makna yang lebih dalam—mengapa dan bagiamananya kebiasaaan-kebiasaan itu. Para pembaca akan banyak mendapat informasi, tetapi tanpa jangkauan ke verstehen.
Dua ratus tahun kemudian, pada 1755, seorang laksamana Belanda, John Splinter Stavorinus, meninggalkan kepada kita catatannya yang ekstensif dari perjalanannya ke Batavia, Semarang, Makasar, Amboyna, dan Surat. Tujuannya adalah untuk menghasilkan “catatan yang lengkap dan akurat tentang keberadaan dan kepemilikan Belanda” di beberapa wilayah. [21] Dia hanya satu dari enam pengarang yang dibahas dalam makalah ini yang tampaknya tidak menyebut amuk sebagai salah satu bentuk kekerasan. Sebagai gantinya, dia banyak melaporkan tentang penghukuman pada penjahat, yang mengungkapkan kekejaman dan kebrutalan yang bisa dilakukan oleh penguasa-penguasa pribumi. Pertama, dia mengungkapkan prosedur hukuman tombak terhadap seorang budak yang membunuh tuannya di Makasar:
The criminal was led, in the morning to the place of execution, being the grass plat, and laid upon his belly, being held by four men. The executioner then made a transverse incision at the lower part of the body, as far as the os sacrum; he then introduced the sharp point of the spike, which was about six feet long, and made of polished iron, into the wound, so that it passed between the back-bone and the skin. Two men drove it forcibly up, along the spine, while the executioner held the end, and gave it a proper direction, till it came out between the neck and shoulders. The lower end was then put into a wooden post, and riveted fast; and the sufferer was lifted up, thus impaled, and the post stuck in the ground. At the top of the post, about ten feet from the ground, there was a kind of little bench, upon which the body rested.
He sat in this dreadful situation till death put an end to his torments, which fortunately happened the next day. There have been instances, at Batavia, of criminals who have remained alive for eight or more days, without any food or drink. One of the surgeons of the city assured me, that none of the parts immediately necessary to life are injured by impalement, which makes the punishment the more cruel and intolerable.[22]
Bentuk hukuman lain yang brutal, menurut Stavorinus, melibatkan penggunaan “binatang liar”:
The emperors sometimes make criminals condemned to death fight with tigers. In such cases, the man is rubbed with borri, or turmeric, and has a yellow piece of cloth put around him, a kris is then given to him, and he is conducted to the field of combat.
The tiger, who has, for a long time, been kept fasting, falls upon the man with the greatest fury, and generally strikes him down at once, with his paw, but if he be fortunate enough to avoid this, and to wound the animal, so that it quits him, the emperor then commands him to attack the tiger; and the man is generally the victim.[23]
Hukuman sejenis itu juga disampaikan kepada Stavorinus oleh seorang opsir VOC yang menyaksikan penghukuman itu tatkala dia ditugaskan di lingkungan istana raja Jawa:
The Javanese who had been condemned to be torn in pieces by tigers, and, for that purpose, had been thrown down, from the top, into a large cage, in which several tigers were confined, fortunately fell exactly upon the largest and fiercest of them, across whose back he sat astride, without the animal doing him any harm, and even, on the contrary, appearing intimidated. He could not, however, avoid the punishment of death, to which he had been condemned, for the emperor commanded him to be shot dead in the cage.[24]
Stavorinus tidak mengabarkan kepada kita kejahatan macam apa yang telah dilakukan sehingga dihukum dengan kejam seperti itu oleh penguasa. Kita sama sekali tidak tahu mengenai si korban dan pelaku kekerasan. Kita hanya tahu “apa yang terjadi.” Apakah kekejaman dan kebrutalan ini terjadi pada orang kebanyakan, atau hanya dilakukan oleh penguasa yang bengis? Stavorinus tampaknya tidak mencoba memastikan tujuan dan konteks kekerasan itu, sehinga membuat pembaca tidak memiliki gambaran tentang verstehen. Memang, catatannya menunjukkan pada kita bahwa pelakunya adalah raja atau penguasa dalam konteks perang dan penghukuman penjahat.
Sementara Stavorinus tidak membahas kekerasan yang mungkin dilakukan oleh orang kebanyakan, sebagian besar bahasan Thomas Stanford Raffles justru pada masalah ini. Raffles kini dianggap sebagai salah satu pelopor kajian Jawa. Dia bertindak sebagai Letnan Gubernur di Jawa pada masa kekuasaan Inggris pada 1811-1816. [25]
Raffles membahas dalam satu bab penuh tentang karakter orang Jawa, yang dia puji tinggi, dengan menggambarkan orang Jawa sebagai “orang pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, tidak cenderung melakukan usaha-usaha keluar daerahnya, tidak mudah terpancing kekerasan atau pertumpahan darah.” [26] Ann Kumar memperkirakan bahwa, “Raffles memiliki alasannya sendiri untuk menggambarkan orang Jawa sebagai orang yang tidak akan menimbulkan kesulitan besar bagi penguasa kolonial yang baru, Inggris.” [27] Tambahan lagi, dengan menggambarkan seperti itu, Raffles tampak lebih simpatik bagi orang Jawa itu, yang tentu saja berkebalikan dengan Belanda yang telah “menimbulkan begitu banyak penderitaan dan perusakan” pada orang Jawa.[28]
Jika Pires melaporkan bahwa tidak ada orang yang lebih amocos ketimbang orang Jawa, Raffles menyatkan bahwa orng Jawa tidak memiliki sifat amuk. Selanjutnya, kekerasan yang terjadi adalah akibat dari “kehidupan di bawah pemerintah di mana keadilan jarang ditegakkan dengan sebenarnya dan tanpa pandang bulu.”[29] Kutipan berikut ini meringkaskan bahasan Raffles tentang kekerasan:
Vicinity and daily intercourse afford opportunities of conferring real assistance and acts of kindness: injustice and even violence may sometimes be committed against the inhabitants of other villages but very seldom by the inhabitants of the same village against each other.
Though living under a government where justice was seldom administered with purity or impartiality, and where of course, we might expect to see the hand of private violence stretched out to punish private wrong, or a general spirit of retaliation and insidious cruelty prevailing, the Javans are, in a great degree, strangers to unrelenting hatred and bloodthirsty revenge.
They are little liable to those fits and starts of anger, or those sudden explosions of fury, which appear among northern nations. To this remark have been brought forward as exceptions, those acts of vengeance, proceeding from an irresistible frenzy, called mucks, where the unhappy sufferer aims at indiscriminate destruction, until he himself is killed like a wild beast, whom it is impossible to take alive. It is a mistake however to attribute these acts of desperation to the Javans.[30]
Dia melanjutkan dengan mengakui bahwa “amuck” memang terjadi di Jawa, tetapi “hal itu hanya dilakukan hampir seluruhnya terbatas oleh kelas budak”:
This phrenzy, as a crime against society, seems, if not to have originated under the Dutch, certainly at least to have been increased during their administration by the great severity of their punishments. For the slightest fault, a slave was punished with a severity which he dreaded as much as death. He often preferred to rush on death and vengeance.”[31]
Pembahasan Raffles tentang kekerasan amuk tidaklah memuaskan karena dia menimpakan itu pada bagaimana Belanda menghukum budak, meskipun, seperti yang sebenarnya diakuinya juga, running amuck juga terjadi sebelum bekuasanya Belanda. Belakangan dia pada dasarnya menimpakan pada Belanda sebagai penyebab terjadinya kejahatan-kejahatan di Jawa, dengan mengatakan bahwa “kejahatan yang kejam sangatlah jarang terjadi, dan pada intinya penyebabnya adalah kesalahan pemerintahan yang berkusa tatkala kejahatan itu terjadi.”[32] Raffles juga berusaha membedakan persepsi Inggris dan Belanda terhadap Jawa, dengan mengutip seorang Belanda yang mukim di Jawa yang mengatakan bahwa sifat-sifat utama orang Jawa adalah “pendendam, bengis, tak taat pada atasan, meremehkan dan despotik terhadap orang di bawahnya, …cenderung merampok dan membunuh ketimbang bekerja, dan licik dalam melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji.”[33] Dengan kata lain, menurut Raffles, Belanda telah menganggap hal-hal yang seram terhadap orang Jawa, sedang Inggris melihat sebaliknya.
Adalah sulit untuk mengetahui kapan Raffles secara akurat menggambarkan orang Jawa dan ketika dia memoles observasinya untuk kepentingan agenda politiknya. Bagaimanapun, usahanya untuk menjelaskan soal kekerasan amuck menunjukkan bahwa memang itu merupakan masalah dan mengkonfirmasi catatan-catatan penulis terdahulu seperti Pires. Raffles juga mengabarkan adanya kekerasan antar desa, dan juga kadang-kadang dalam desa.
Pada 1820, sesaat setelah Raffles menerbitkan sejarahnya tentang Jawa, John Crawfurd menerbitkan sebuah buku tentang Kepulauan India. Crawfurd adalah anggota ekspedisi Inggris yang menaklukkan Jawa pada 1811, dan menempati beberapa posisi administratif pada pendudukan Inggris hingga 1816. Dia juga mengunjungi Bali dan Sulawesi untuk misi politik. Sama seperti Raffles, Crawfurd secara umum menulis yang baik-baik tentang sifat orang Jawa, tetapi berbeda dengan Raffles dia juga berpendapat bahwa orang Jawa memiliki semangat pendendam yang berbahaya, seperti halnya semua penduduk pribumi di Nusantara.
Adalah jiwa pendendam, digabung dengan pemerintahan yang buruk, menurut Crawfurd, yang menimbulkan kebiasaan amuck itu:
Revenge, the vice of all barbarians, is the most prominent in the character of the Indian islanders. They can hardly forgive an injury, and are capable of harbouring the longest and the deepest rooted resentment. In a state of society where there is no regular administration of justice, but where the security of every man’s honour, life, and property, depends in no small degree upon his own arm, we may almost hesitate whether to pronounce the passion of revenge a virtue or a vice. Without it, at all events, society could not exist.
The spirit of revenge, with an impatience of restraint, and a repugnance to submit to insult, more or less felt by all the Indian islanders, give rise to those acts of desperate excess which are well known in Europe under the name of mucks. Amuck means generally an act of desperation, in which the individual or individuals devote their lives, with few or no chances of success, for the gratification of their revenge.[34]
Jika Raffles menjelaskan bahwa amuck adalah reaksi terhadap tindakan Belanda, Crawfurd mengatakan bahwa itu adalah sifat inheren kaum pribumi. Crawfurd menjelaskan bahwa sifat ini terpantik oleh ketidakadilan dan pemerintahan yang buruk, tetapi dia tidak menyebut Belanda..
Crawfurd membahas secara panjang lebar dalam bab tentang “kebiasaan dan karakter orang Hindia” mengenai pemerintahan yang buruk ini dan kurang beradabnya penduduk pribumi. Dalam menjelaskan apa yang dia sebut “keburukan penduduk kepulauan Hindia,” pada dasarnya dia memberikan alasan untuk kekuasaan kolonial, dan karenanya memenuhi sebuah agenda politik. Misalnya, diantara keburukan itu, menurut Crawfurd, adalah “pelecehan terhadap kehidupan manusia”:
They live in a state of turbulence and anarchy; the empire of law is next to nothing; death is familiar to the people, and has few terrors for them, and the great body are in such a state of degradation, that they neither value the lives of each other, nor are those lives likely to be valued by their chiefs, who despise them in every thing else. The exercise of the right of private revenge, and the law which acknowledges it, demand life for life, but both accept a pecuniary commutation; so that every man’s life has its price, and that, too, not a very high one. Murders and assassinations are frequent, therefore, in every country of the Archipelago.[35]
Crawfurd kemudian menceritakan kisah seorang Cina yang menyewa seorang Jawa untuk membunuh orang Jawa lain yang telah mengancamnya, Dengan menjelaskan konteks turbulensi dan anarki di mana orang sampai “melecehkan kehidupan,” dan kemudian menyatakan bahwa hukum mereka mengakui balas dendam pribadi, Crawfurd mengatributkan keburukan itu pada pemerintahan yang buruk.
Begitu juga, menurut Crawfud, sifat buruk “khianat dan tak bisa dipercaya” adalah akibat pemerintahan yang buruk. Dia mengisyaratkan bahwa pemerintahan yang baik dan peradaban tidak muncul di antara penduduk Nusantara.
“It is in their intercourse with strangers, and with enemies, that, like other barbarians, the treachery of their character is displayed. In these relations, good faith and integrity of conduct are known only where good government and civilization [huruf miring dari penulis] prevail, and, where they are absent, we are sure to have the opposite vices.” [36].
Crawfurd mengilustrasikan apa yang dianggapnya tiada berperadaban serta kebarbaran dengan menggambarkan orang Batak. Dalam penjelasannya dia mengutip Mr. Anderson untuk mendukung pendapatnya:
The most remarkable circumstance connected with the manners of the Bataks is their undoubted practice of cannibalism. The victims are enemies, criminals, and now and then a slave...says Mr. Anderson, ‘…it is not for the sake of food that the natives devour human flesh, but to gratify their malignant and demon-like feelings of animosity against their enemies.[37]
Gambaran ini terdapat dalam entry “Batak” in dalam Dictionary-nya Crawfurd. Penjelasan Anderson mengapa orang Batak memakan daging musuh mereka (“untuk memuaskan rasa perasaan bengis dan seperti-iblis mereka”) yang didukung oleh Crawfurd, tak punya dasar dan sangat subjektif. Meskipun catatan ini mengkonfirmasi fakta bahwa memang ada kanibalisme, tetapi penjelasan itu sama sekali tanpa verstehen, yang membuat kita bertanya-tanya mengapa dan dalam suasana apa orang melakukan tindakan semacam itu.
Penggambaran Crawfurd tentang sifat pendendam, khianat dan tak bisa dipercaya, serta praktik kanibalisme menunjukkan bahwa kekerasan dilakukan baik oleh pimpinan maupun orang kebanyakan. Tetapi, penggambaran-penggambaran itu ditujukan untuk menunjukkan ketiadaan “pemerintahan yang baik,” dan mengukuhkan pendapat bahwa pribumi lebih rendah dari orang Eropa. Karenanya, mereka tidak secara akurat merepresentasikan kaum pribumi dan motif-motifnya.
Alfred Russel Wallace, salah seorang sejarawan alam yang masyhur, setuju dengan karakterisasi Crawfurd bahwa penduduk Nusantara adalah tak beradab. Catatan Wallace berbentuk jurnal lapangan yang dia lakukan selama delapan tahun tinggal di Malaysia dan Indonesia antara 1854 dan 1862. Dia tinggal di sana untuk mengumpulkan spesimen, tetapi juga tertarik pada manusianya serta budayanya. Pendekatan Walace untuk mendokumentasikan kebiasaan penduduk yang dia temui lebih mirip yng dilakukan oleh ilmuwan sosial karena dia juga berusaha memahami pandangan subjek yang ditelitinya. Tetapi, catatannya tetaplah dipengaruhi oleh Eurosentrisme, seperti halnya penulis-penulis lain pada masa itu.
Upaya Wallace untuk memahami tujuan dan konteks tindakan manusia tampak nyata dalam deskripsinya tentang amuck yang merupakan penjelasan paling elaboratif saat itu:
In their wars a whole regiment of these people will sometimes agree to “amok,” and then rush on with such energetic desperation as to be very formidable to men not so excited as themselves. Among the ancients these would have been looked upon as heroes or demi-gods who sacrificed themselves for their country.
It is the national, and therefore the honorable mode of committing suicide among the natives of Celebes, and is the fashionable way of escaping from their difficulties. A Roman fell upon his sword, a Japanese rips up his stomach, and an Englishman blows out his brains with a pistol.
A man thinks himself wronged by society—he is in debt, and can not pay—he is taken for a slave, or has gambled away his wife or child into slavery—he sees no way of recovering what he has lost, and becomes desperate. He will not put up with such cruel wrongs, but will be revenged on mankind and die like a hero.
It is a delirious intoxication, a temporary madness that absorbs every thought and every energy. And can we wonder at the kris-bearing, untaught, brooding Malay preferring such a death, looked upon as almost honorable, to the cold-blooded details of suicide, if he wishes to escape from overwhelming troubles, or the merciless clutches of the hangman and the disgrace of a public execution, when he has taken the law into his own hands, and too hastily revenged himself upon his enemy?[38]
Seperti hanlya Crawfurd, Wallace menyebutkan bahwa balas dendam adalah pendorong kebiasaan amuck. Tetapi ketimbang mengkarakterisasikan semua pribumi adalah pendendam, Wallace menawarkan perspektif bahwa seseorang bisa amuck jika, misalnya, “dia merasa dirinya diperlakukan tak adil oleh masyarakat.” Dia juga melaporkan perspektif kultural lama, yang membantu untuk memahami kekerasan ini yang bisa saja memiliki sentimen kepahlawanan. Penggambarannya lebih muwakil dan lengkap, memberi pembaca pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana dan mengapa kekerasan bisa tejadi.
Mengenai kekerasan secara umum, Wallace mengatakan bahwa hal itu menjadi problem masa lalu karena adanya kekuasaan kolonial. Dalam pembahasannya tentang kekerasan, dia berulangkali memuji dan membenarkan kekuasaan Belanda dan Inggris. Sebagai contoh, tatkala membicarakan penduduk Goram, sebuah pulau di bagian timur Nusantara, Wallace mengaitkannya dengan apa yang diceritakan temannya, Rajah Ammer::
A few years ago, before the Dutch had interfered in the affairs of the island, the trade was not carried on so peaceably as at present, rival praus often fighting when on the way to the same village. Now such a thing is never thought of—one of the good effects of the superintendence of a civilized government.[39]
Contoh sama yang menyanjung kekuasaan kolonial adalah tatkala Wallace menisbahkan adanya perdamaian antara suku-suku Dayak karena kepemimpinan Sir James Brooke:
Crimes of violence (other than head-hunting) are almost unknown; for in twelve years under Sir James Brooke’s rule, there had been only one case of murder in a Dyak tribe, and that was committed by a stranger who had been adopted into the tribe.[40]
Jika pada kutipan di atas Wallace membicarakan kekerasan antarsuku, sebenarnya dia lebih banyak mencurahkan perhatian pada kekerasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa pribumi terdahulu:
Sir James Brooke found the Dyaks oppressed and ground down by the most cruel tyranny…Their wives and children were often captured and sold into slavery, and hostile tribes purchased permission from their cruel rulers to plunder, enslave, and murder them. Any thing like justice or redress for these injuries was utterly unattainable. From the time Sir James obtained possession of the country, all this was stopped…The Dyak, for the first time, could sleep in peace.[41]
Pujian Wallace terhadap sistem pemerintahan Belanda diiringi dengan pujiannya terhadap upaya-upaya misionaris. Dalam kutipan berikut dia menggambarkan perubahan kehidupan di Minahasa, Sulawesi:
[The missionaries] have assisted the Government in changing a savage into a civilized community in a wonderfully short space of time. The people are now the most industrious, peaceable, and civilized in the whole Archipelago.[42]
Dari narasi Wallace sulit untuk menentukan karakteristik-karakteristik kekerasan pada masa prakolonial di Kepulauan Indonesia. Dia memang menggambarkan kondisi tiranis (di bawah penguasa pribumi), dan kebanyakan pelaku kekerasan tampaknya para penguasa. Tetapi, dia tidak mengungkapkan tingkat kekerasan yang terjadi atau tingkat brutalitas (selain perburuan-kepala, headhunting, yang sudah disebut).
Seperti telah disebut sebelumnya, catatan Wallace adalah berprasangka dan Eurosentris. Bukti kesombongannya itu bisa dilihat dari rasionalisasi mengapa benar didirikan pemerintahan kolonial:
If we are satisfied that we are right in assuming the government over a savage race and occupying their country; and if we further consider it our duty to do what we can to improve our rude subjects and raise them up toward our own level, we must not be too much afraid of the cry of “despotism” and “slavery,” but must use the authority we possess to induce them to do work which they may not altogether like, but which we know to be an indispensable step in their moral and physical advancement.[43]
Pembenaran Wallace terhadap kolonialisme dalam kutipan itu meringkaskan sikap sebagian besar penulis Eropa saat itu. Pada intinya mereka percaya bahwa adalah tugas moral mereka untuk menundukkan semua “ras.” Kepercayaan semacam itu, prasangka dan rasa superioritas merupakan halangan untuk memahami titik pandang kaum pribumi.
Lebih sulit lagi adalah memahami dan secara akurat menggambarkan titik pandang pribumi tatkala hanya tergantung pada narasi orang lain. Ini adalah kesulitan besar yang dialami sarjana Barat kontemporer seperti Geoffrey Robinson. Dalam disertasinya, The Politics of Violence in Modern Bali: 1882-1966, Robinson membahas kekerasan prakolonial di Bali.
Robinson memakai catatan-catatan penjelajah asing dan misinonaris untuk membuktikan bahwa Bali bukanlah pulau yang secara sosial harmonis seperti gambaran awal orang-orang Belanda. Gambaran dari penjelajah asing menunjukkan “sebuah adegan dimana intrik politik dalam keluarga bangsawan, perang berkelanjutan antarkerajaan, perbudakan dan praktik-praktik sosial barbarik seperti pembakaran-janda adalah norma.[44] Orang Bali digambarkan sebagai “kejam, suka perang, dan mudah marah serta menjadi amok.” [45]
Robinson mengutip catatan yang mengejutkan yang ditulis oleh misionaris Inggris yang berada di Bali selama tiga bulan pada 1829. Cerita ini menunjukkan tingkat brutalitas yang diterapkan kerajaan-kerajaan:
About twelve years ago, the uncle of the present king named Gusti Moorah Gede Karang (or great rock) was upon the throne of Baliling, his reign however was unpopular, and he was murdered in an insurrection at Djambarana. He was succeeded by his son called Dewa Pahang, who quarreled with his uncle, the rajah of Karang Assam, and sent a message to him saying that if he could catch him he would drink his blood, and that his sister would also anoint her hair with the same. When the rajah of Karang assam [sic], whose name was Gusti Moorah Lanang, heard of this, he sent word back, that if he could take Dewa Pahang, he would cut off his head and chop him to pieces, adding that if the Gods would favour him in this enterprise he would build a temple in their honor of men’s bones and cover it with human hides. Thus they went to war…Dewa Pahang fell in love with his sister, and seeking to commit incest with her his people deserted him and he was adjudged by the rajah of KalongKong [sic] to be given into the hands of his uncle (his erstwhile enemy) to be dealt with as he deserved. This afforded Lanang the opportunity of gratifying his revenge…(H)e cut off Dewa Pahang’s head, and chopped him in pieces, sending parts of his body to the various rajahs in proof of what he had done.[46]
Ilustrasi ini adalah kekerasan politik di Bali yang, menurut beberapa sarjana lain seperti Robinson adalah cukup biasa terjadi. Menurut Nordholt, tatanan politik Bali “dicirikan oleh keadaan konflik terus-menerus.”[47]
Robinson menunjukkan bahwa Belanda menekankan kekacauan politik ini dalam “catatan resmi politik dan budaya Bali” untuk membenarkan perluasan “perangkat administrasi kolonial di seluruh Bali”: “The frequency of war, the alleged cruelty of Bali’s opium-smoking despots, the barbarity of its social practices, were evoked by turn of the century officials to justify, sometimes after the fact, military intervention and direct colonial administration.”[48] Pembenaran yang sama tampak pada penulis-penulis Eropa yang dibahas sejauh ini. Ini adalah agenda kolonial. Robinsaon tidak mempertanyakan keakuratan catatan yang mengatakan bahwa bahwa Bali adalah tempat yang penuh kekerasan, tetapi dia mengakui bahwa catatan resmi seperti itu tentu memajukan agenda kolonial.
Setelah membahas catatan-catatan Tome Pires, John Stavorinus, Thomas Raffles, John Crawfurd, Alfred Wallace dan ketergantungan Geoffrey Robinson pada penulis-penulis Eropa, sangat jelas bahwa terdapat panyak tantangan untuk memahami bagimana dan mengapa kekerasan tertentu terjadi di zaman prakolonial Kepulauan Indonesia. Catatan-catatan itu berdasar pada titik pandang Eurosentris dan tidak cukup menjelaskan tujuan dan konteks kebiasaan kekerasan di antara penduduk pribumi. Tatkala mereka mencoba melakukan penjelasan, itu dilakukan untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politik mereka, yang tentu saja mengancam objektivtas dan akurasi catatan-catatan mereka.
Meskipun begitu, di bawah interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah kekerasan itu sendiri. Mengetahui apa yang terjadi, meskipun sulit untuk mengatakan mengapa dan bagaimana terjadi, sudah menolong untuk menyelidiki akar-akar kekerasan di Indonesia. Misalnya, kita dapat melihat bahwa pola kekerasan tertentu yang terjadi dewasa ini, seperti running amuck dan main hakim sendiri, adalah bukan kejadian khas abad ke-20.
Kekerasan amuck tercatat keberadaannya secara konsisten sepanjang empat abad. Perlu diketahui, istilah amuck pada akhirnya menjadi kata dalam bahasa Inggris. Apakah ini berarti amuck adalah sejenis kekerasan yang hanya ada terdapat di wilayah Nusantara? Apakah kekerasan itu tidak bisa dilihat dalam konteks yang bukan penuh dendam, serta hasrat bunuh diri di kalangan penduduk? Atau apakah penggunaan istilah pribumi itu adalah cara untuk membuat tindakan “tak beradab” menjadi seolah-olah khas dan makin menguatkan inferioritasnya? Yang jelas, apakah orang Eropa itu terperangah oleh kebiasaan amuck atau apakah sebenarnya hal itu merupakan hal biasa seperti dalam tradisi merka sendiri, fakta bahwa begitu banyak penulis Eropa membahas masalah itu menunjukkan pada kita bahwa hal itu pada tingkat tertentu terjadi secara regular. Karenanya, hasrat kekerasan yang terjadi di Indonesia dewasa ini mungkin saja tertanam dalam pola sejarah hingga beberapa abad ke belakang.
Pola lain yang masih berlangsung sekarang adalah orang menggunakan kekerasan untuk main hakim sendiri. Seperti telah kita lihat, penulis-penulis Eropa sering membahas masalah ini untuk membenarkan tegaknya kekuasaan kolonial. Dewasa ini, problem yang sama juga dibahas di masa Reformasi ini. Isu ini juga menjadi argumentasi para elite untuk membenarkan kembalinya keamanan dan stabilitas yang akan melayani kepentingan mereka sendiri.[49] Tanpa memperhatikan bagiaman bahwa isu ini dimanipulsai untuk tujuan politik, kita tahu bahwa masalah ini tetap muncul sepanjang sejarah dan tidak khas pada zaman ini saja.
Dalam upaya mencari akar kekerasan di Indonesia kontemporer, kita harus memperhitungkan bahwa banyak jenis kekerasan yang terjadi sekarang juga telah tejadi selama beberapa abad. Catatan-catatan orang Eropa menunjukkan bahwa kita tidak bisa semata-mata mengatributkan kekerasan dalam Indonesia kontemporer pada kondisi atau struktur politik yang ada dewasa ini.
Bibliography
Boon, James A. Affinities and Extremes: Criscrossing the Bittersweet Ethnology of East Indies History, Hindu-Balinese Culture, and Indo-European Allure. Chicago: Univ. of Chicago Press, 1990.
Collins, Elizabeth. “Indonesia: A Violent Culture?” Asian Survey 42, no. 4 (2002): 582-605.
Colombijn, Freek and J. Thomas Lindblad, eds. Roots of Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 2002.
Crawfurd, John. History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of Its Inhabitants. 3 vols. 1820. Reprint, London: Frank Cass, 1967.
Kumar, Ann. Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters. Surrey, Great Britain: Curzon, 1997.
Hall, D. G. E. ed. Historians of South East Asia. London: Oxford Univ. Press, 1961.
Lach, Donald F. Southeast Asia in the Eyes of Europe: The Sixteenth Century. Chicago: Univ. of Chicago Press, 1965.
Marsden, William. The History of Sumatra. 1811. Reprint, with an introduction by John Bastin, London: Oxford Univ. Press, 1966.
Nordholt, Henk Schulte. Bali: Colonial Conceptions and Political Change, 1700-1940. Rotterdam: Comparative Asian Studies Programme, Erasmus Univ., 1986.
Pires, Tome. The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515 and The Book of Francisco Rodrigues. Vols. 1-2. Translated from the Portuguese MS in the Bibliotheque de la Chambre des Depute and edited by Armando Cortesao. London: Hakluyt Society, 1944.
Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Vol. 1. 1817. Reprint, with an introduction by John Bastin, London: Oxford University Press, 1965.
Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: The Lands Below the Winds. Vol. 1. New Haven: Yale Univ. Press, 1988.
Reid, Anthony and Lance Castles, eds. Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia. Kuala Lampur: Council of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society, 1975.
Reid, Anthony and Jennifer Brewster. Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia. New York: St. Martin’s, 1983.
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2d ed. Stanford, Ca.: Stanford Univ. Press, 1993.
Robinson, Geoffrey. The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca: Cornell Univ. Press, 1995.
___. “The Politics of Violence in Modern Bali, 1882-1966.” Vol. 1 (Ph.D. diss., Cornell University, 1992.
Stavorinus, J. S. Voyages to the East Indies. Vol 2. Translated by S. H. Wilcocke. 1798: London: Dawsons of Pall Mall, 1969.
Swellengrebel, J. L. Introduction to Bali: Life Thought, and Ritual. Vol. 5. Edited by
W. F. Wertheim and others. The Hague: W. van Hoeve, 1960.
Vickers, Adrian. “Reopening Old Wounds: Bali and the Indonesian Killings.” The Journal of Asian Studies 57, no. 3 (1988): 774-85.
Wallace, Alfred Russel. The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise. 1869. Reprint, with an introduction by John Bastin, Singapore: Oxford Univ. Press, 1986.
__________________________________________________________
* Berasal dari paper berjudul Determined to Die? European Accounts of Violence in the Pre-colonial Indonesian Archipelago yang dipersiapkan untuk Kuliah Historical Perspectives on Violence in Contemporary Indonesia di Ohio Univesity, Fall 2002.
** Sophia Malkasian adalah mahasiwa paskasarjana pada Southeast Asia Studies Program, Ohio University.
- Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad, Pendahuluan untuk buku Roots of Violence in Indonesia, ed. Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (Leiden: KITLV, 2002), 25.
- Ibid., 3.
- Anthony Reid, bagian Pengantar untuk Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, ed. Anthony Reid dan Jennifer Brewster (New York: St. Martin’s, 1983), 5.
- dan Lindblad, 10.
- Donald Lach, Southeast Asia in the Eyes of Europe: The Sixteenth Century (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1965).
- . L. Swellengrebel, bagian Pengantar untuk Bali: Life Thought, and Ritual, vol. 5, ed. W. F. Wertheim et. al. (The Hague: W. van Hoeve, 1960), 13.
- Geoffrey Robinson, “The Politics of Violence in Modern Bali, 1882-1966” vol. 1 (Ph.D. diss., Cornell University, 1992), 36-47.
- Reid, “Introduction,” 16.
- Van Der Kraan, “The Nature of Balinese Rule in Lombok,” dalam Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia, ed. Anthony Reid and Lance Castles (Kuala Lampur: Council of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society, 1975), 91-107.
- (istilah bahasa Jerman yang digunakan oleh Max Weber dalam menjelaskan ilmu-ilmu sosial): untuk memahami: “1. To perceive and comprehend the nature and significance of, to know. 2. To know thoroughly by close contact with or by long experience of the phenomenon. 3. To grasp or comprehend the meaning intended or expressed by another. 4. To know and be empathetic toward.” (Tanpa halman judul, www.faculty.rsu.edu/~felwell/Theorists/Weber/verstehen.html, diakses pada 9 November 2002).
- John D. Legge, “Southeast Asian History and the Social Sciences,” in Southeast Asian History and Historiography, ed. C. D. Cowan dan D. W. Wolters (Ithaca: Cornell Univ. Press, 1976), 390-1.
- Ibid., 391.
- . G. Collingwood, The Idea of History (Oxford, 1964): 214, dikutip dalam Legge, 391.
- Ibid.
- Frederick, kuliah tentang perpektif sejarah, 27 September, 2002.
- The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515 and The Book of Francisco Rodrigues, vol. 1, trans. Portuguese MS and ed. Armando Cortesao (Glasgow, Great Britain: Univ. Press, 1944), xviii-xix.
- Donald Lach, Southeast Asia in the Eyes of Europe: The Sixteenth Century (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1965), 7.
- Pires, 137.
- Ibid., 139.
- ., 176.
- Ibid., 179.
- John Splinter Stavorinus, judul halaman Voyages to the East Indies, vol. 2, terj. S. H. Wilcocke (1798; London: Dawsons of Pall Mall, 1969).
- Stavorinus’ Voyages (London: Dawsons of Pall Mall?, 1798?]), 288-291, dikutip dalam John John Crawfurd, History of the Indian Archipelago, vol. 1 (1820; reprint, London: Frank Cass, 1967), 44-5.
- Ibid.
- ., 136-8.
- M. C. Ricklefs, “Javanese Sources in the Writing of Modern Javanese History,” dalam Southeast Asian History and Historiography, ed. C. D. Cowan dan D. W. Wolters (Ithaca: Cornell Univ. Press, 1976), 333.
- Stamford Raffles, The History of Java, vol. 1 (London, 1830), 78-9, dikutip dalam Ann Kumar, Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters (Richmond: Curzon, 1997), 393.
- Ann Kumar, Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters (Richmond: Curzon, 1997), 393.
- Stamford Raffles, The History of Java, vol. 1 (1817; cetak ulang, dengan Pendahuluan oleh John Bastin, London: Oxford Univ. Press, 1965), 254.
- , 249.
- ., 247-50.
- Ibid, 250.
- Ibid.
- Ibid., 254.
- John Crawfurd, History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of Its Inhabitants, vol. 1 (1820; reprint, London: Frank Cass, 1967), 65-7.
- Crawfurd, 70-1.
- Ibid., 71-2.
- John Crawfurd, A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (n.d.; reprint, London: n.p., 1971), dikutip dalam James A. Boon, Affinities and Extremes: Crisscrossing the Bittersweet Ethnology of East Indies History, Hindu-Balinese Culture, and Indo-European Allure (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1990), 31.
- Russel Wallace, The Malay Archipelago: The Land of the Orang-utan and the Bird of Paradise (1869; reprint, dengan Pengantar oleh John Bastin, Singapore: Oxford Univ. Press, 1986), 183.
- Wallace, 377.
- Ibid., 100.
- Ibid., 102-3.
- ., 261.
- ., 262-3.
- Dr. Medhurst, Journal of a Tour Along the Coast of Java and Bali and With a Short Account of the Island of Bali Particularly Bali Baliling (Singapore: Mission, 1830), dikutip dalam Robinson, 37.
- Adrian Vickers, Bali: A Paradise Created (Berkeley: Periplus Editions, 1989), 11-15, dikutip dalam Robinson, 37.
- Medhurst, dikutip dalam Robinson, 38.
- Henk Schulte Nordholt, Bali: Colonial Conceptions and Political Change 1700-1940 (Rotterdam: Comparative Asian Studies Programme, Erasmus Univ., 1986), 19.
- Robinson, 47.
- Elizabeth Collins, “Indonesia: A Violent Culture?” Asian Survey 42, no. 4 (2002), 583.
No comments:
Post a Comment