Seorang sahabat dari panitia Harlah Gerakan Pemuda Ansor DIY telpon ke saya untuk mengecek apakah tulisan saya sudah jadi atau belum. Saya katakan bahwa saya mengalami kesulitan luar biasa untuk memberi konteks GP. Ansor dalam peta gerakan pemikiran (keislaman) di kalangan anak-anak muda NU. Sahabat saya itu terkekeh-kekeh dengan jawaban saya. “Sudahlah sampeyan tulis saja apa yang seharusnya Ansor lakukan,” begitu sarannya. Apa yang seharusnya Ansor lakukan ke depan?. Rasanya saran ini jauh lebih mengena daripada saya memaksakan diri untuk memberi konteks, yang menurut saya terlalu berlebihan juga.
Kesulitan saya terutama terletak pada mencari data, sumber-sumber informasi dan referensi yang memadai soal ini. Paling mudah, misalnya, jika kita mau mengakui, keterlibatan Ansor sejak dulu lebih ke arah gerakan politik ketimbang gerakan pemikiran. Kita tahu bagaimana Ansor terlibat dalam gerakan ganyang mengganyang PKI paska tragedi 1965. Bahkan, untuk sebagian para eksponen Ansor saat itu memiliki kebanggaan sejarah atas keterlibatan tersebut. Saya tahu ini dari beberapa kali saya ketemu seorang karib di Syarikat yang bekerja untuk rekonsiliasi atas kasus ini.
Sehingga karena itu pula saya melihat kesan yang cukup mendalam atas gerakan pemuda underbouw NU ini lebih kental dimensi (gerakan) politiknya daripada gerakan kultural (pemikiran)-nya. Dalam pikiran penulis, kecenderungan ini tidaklah terlampau keliru. Di masa lalu, peranan Ansor dalam mempertahankan kemerdekaanpun menunjukkan komitmen yang tegas bahwa organisasi kepemudaan NU ini memiliki visi yang kuat mempertahankan bangsa (baca: NKRI). Hal itu dibuktikan, dengan peran serta pemuda-pemuda Ansor dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah dalam perang kemerdekaan.
Penelitian lapangan penulis sekitar tahun 1997 di daerah Malang dan Pasuruan menunjukkan secara luar biasa para eksponen muda Ansor saat itu, baik yang pernah dilatih sebagai Sudancho maupun Daidancho dengan para pemuda dari berbagai pesantren di Jawa, bahu membahu mengawal keputusan Resolusi Jihad Mbah Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945. Kita tahu bahwa perlawanan rakyat yang dibentengi orang-orang pesantren (termasuk eksponen Ansor di dalamnya) telah memberi sumbangan besar bagi perjalanan republik di kemudian hari. Peristiwa perlawanan rakyat Surabaya yang kita kenal sebagai perjuangan arek-arek Surabaya saat itu sampai kini kita peringati sebagai Hari Pahlawan (10 Nopember).
Betapa revolusioner dan gagah beraninya mereka, sekalipun hanya bermodal semangat dan jiwa kepeloporan pemuda yang terjaga. Sebuah cerita yang pernah saya ingat dalam suatu wawancara, mengatakan bahwa pemuda-pemuda dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah, di mana sebagian besar eksponen Ansor berada di dalamnya hanya bermodalkan bambu runcing, berada di garis paling depan dalam perang rakyat Surabaya. Komitmen mereka dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini dalam perjalanannya tidak tercatat dengan baik dalam memori kolektif kita sekarang. Bahkan mungkin, untuk sebagian besar eksponen Ansor saat ini sama sekali tidak begitu tahu persis apa dan bagaimana eskponen Ansor saat itu mengambil momentum peranan mereka.
Belakangan akhirnya kita tahu juga bahwa sebagian besar para eksponen Ansor yang berjasa besar dalam mempertahankan kemerdekaan itu harus tersingkir akibat politik rasionalisasi tentaranya Bung Hatta. Mereka yang tergabung dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah dipaksa untuk menjadi orang sipil kembali karena dianggap tidak memiliki pengalaman pendidikan ketentaraan. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang kecewa dan akhirnya bersimpati pada gerakan PRRI/Permesta maupun DI/TII di Jawa Barat. Sebuah ironi para pejuang. Seperti habis manis sepah dibuang. Begitulah nasib para eksponen Ansor dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah mengalami tekanan politik yang jauh lebih besar dari berperang mengangkat senjata.
Dari pemaparan ini, kita menjadi sedikit mengerti bagaimana peran para eksponen Ansor dalam mempertahankan kemerdekaan. Kita mengenang ketokohan KH. Oesman Mansoer (Malang) dalam kelasykaran Hizbullah dan kepemimpinan KH. Moenasir Ali (Mojokerto) dalam kelasykaran Sabilillah. Sampai kemudian, untuk mengenang peran serta para pejuang pesantren ini, berdiri sebuah masjid di Malang yang diberi nama: Masjid Sabilillah. Sayang pula, gerakan sahabat-sahabat Ansor Malang untuk menjadikan KH. Moenasir Ali sebagai pahlawan nasional hingga saat ini belum terwujud. Di samping itu semua, peran para eksponen muda Ansor pada suatu waktu sangatlah terasa sebagai penjaga bangsa.
Ada satu hal yang dapat kita lihat dari sekelumit paparan di atas. Para eksponen Ansor dan mudah-mudahan ini tidaklah salah, GP. Ansor lebih banyak mengambil peran sebagai penjaga bangsa. Sepanjang sejarah kita, komitmen ini rasanya merupakan sebuah visi yang seharusnya terus menerus dihidupkan. Sesuatu sikap yang semestinya tak lapuk di makan hujan dan tak rentan di makan usia. Komitmen dalam menjaga bangsa ini harusnya tetap hidup dan menjadi ruh dari setiap gerakan pemuda Ansor di manapun. Banyak suri teladan dari mereka di masa lalu yang dapat menjadi cermin kita dewasa ini.
Di usianya sekarang (74 tahun!), apakah Ansor masih seperti dulu atau hanya tinggal serpihan-serpihan ilusi dan ke-GR-an organisasional saja? Merasa besar dalam dirinya sendiri tapi tak kuasa melakukan apapun. Mungkin tak ubahnya katak dalam tempurung. Merasa bisa melakukan sesuatu tapi tak sanggup menjalankan apa yang seharusnya dikerjakan. Mungkin pula hal ini tidak begitu penting di jawab. Karena memang bukan jawaban yang diperlukan. Dewasa ini kita membutuhkan sikap dan tindakan yang jelas. Ke arah mana Ansor ingin mengambil peranan dalam perubahan sosial-politik Indonesia yang semakin tidak karuan?
ooOOOoo
Perubahan politik Indonesia paska turunnya Soeharto menandai babak peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Di masa-masa awal gerakan reformasi, euphoria demokrasi begitu kuat terasa di mana-mana. Ada angin perubahan politik yang nyata. Ada ruang kebebasan yang sebelumnya tak pernah kita jumpai. Ada suasana politik dan ruang sosial yang lebih terbuka dari sebelumnya. Ada semacam optimisme yang berlebih bahwa kita akan memperoleh harga diri kita kembali. Sesuatu yang jarang kita peroleh di masa sebelumnya.
Seiring dengan perubahan politik itu pula berdiri partai-partai politik bagai cendawan di musim penghujan. Tak ketinggalan, NU pun pada akhirnya terdorong mendirikan partai berbasis warganya sendiri, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan, seperti kita tahu juga bahwa sekarang ini hubungan antara NU dan PKB seperti minyak dan air. Berada pada kotak yang sama tapi sebetulnya tak pernah bersua, apalagi bertegur sapa layaknya saudara.
Barangkali kita hanya tahu saat ini dampak sosial-kultural dari berdirinya partai dalam tubuh NU adalah merunyamnya pola-pola relasi antar warga NU sendiri di satu pihak. Di pihak lain, begitu kuat dan suburnya kesadaran pragmatisme politik di kalangan anak-anak muda NU sendiri, termasuk Ansor di dalamnya. Sebuah kecenderungan yang sama sekali tidak enak. Tapi, kenyataannya hal itu harus kita hadapi sebagai sebuah cobaan (godaan). Akibat lanjutan dari itu, sebagian besar potensi anak-anak muda NU tercurah habis untuk memenuhi hasrat politik yang teramat besar. Menjadi politisi sebagai pilihan utama dalam mewujudkan cita-cita sosial individual anak-anak muda NU sekarang.
Di dalam tubuh Ansor sendiri kecenderungan pragmatis menjadikan Ansor sebagai jembatan mewujudkan cita-cita politik individual itu terasa begitu kuat arusnya. Namun, tak ada yang harus disalahkan dengan kecenderungan ini. Tak juga boleh dianggap bahwa kecenderungan ini mengkhianati khittah di Ansor sendiri. Ansor saat ini membutuhkan keseimbangan dalam berbagi dan berbagai peran yang akan dan seharusnya dimainkan. Untuk hal ini, saya merasa sebagai bagian dari Ansor sendiri belum melihat atau menemukan bagaimana keseimbangan itu dapat diwujudkan.
Artinya, kesadaran kolektif diperlukannya peran serta Ansor dalam berpolitik tidak serta merta mendinginkan spirit Ansor sebagai penjaga bangsa. Keseimbangan antara keduanya dapatlah ditemukan jika kita semua dapat memahami bahwa di atas segala yang bersifat kepentingan individual, selalu ada kesadaran untuk melihat sisi dan mengingatkan kita pada cita-cita kemaslahatan umum. Begitu mudah mengatakannya memang. Tapi, amat teramat sulit melaksanakannya. Namun, di antara tarik manarik keduanya, selalu ada upaya yang tak bosan-bosannya dilakukan. Selamat harlah Ansor! Wallahu’alam.
Kesulitan saya terutama terletak pada mencari data, sumber-sumber informasi dan referensi yang memadai soal ini. Paling mudah, misalnya, jika kita mau mengakui, keterlibatan Ansor sejak dulu lebih ke arah gerakan politik ketimbang gerakan pemikiran. Kita tahu bagaimana Ansor terlibat dalam gerakan ganyang mengganyang PKI paska tragedi 1965. Bahkan, untuk sebagian para eksponen Ansor saat itu memiliki kebanggaan sejarah atas keterlibatan tersebut. Saya tahu ini dari beberapa kali saya ketemu seorang karib di Syarikat yang bekerja untuk rekonsiliasi atas kasus ini.
Sehingga karena itu pula saya melihat kesan yang cukup mendalam atas gerakan pemuda underbouw NU ini lebih kental dimensi (gerakan) politiknya daripada gerakan kultural (pemikiran)-nya. Dalam pikiran penulis, kecenderungan ini tidaklah terlampau keliru. Di masa lalu, peranan Ansor dalam mempertahankan kemerdekaanpun menunjukkan komitmen yang tegas bahwa organisasi kepemudaan NU ini memiliki visi yang kuat mempertahankan bangsa (baca: NKRI). Hal itu dibuktikan, dengan peran serta pemuda-pemuda Ansor dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah dalam perang kemerdekaan.
Penelitian lapangan penulis sekitar tahun 1997 di daerah Malang dan Pasuruan menunjukkan secara luar biasa para eksponen muda Ansor saat itu, baik yang pernah dilatih sebagai Sudancho maupun Daidancho dengan para pemuda dari berbagai pesantren di Jawa, bahu membahu mengawal keputusan Resolusi Jihad Mbah Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945. Kita tahu bahwa perlawanan rakyat yang dibentengi orang-orang pesantren (termasuk eksponen Ansor di dalamnya) telah memberi sumbangan besar bagi perjalanan republik di kemudian hari. Peristiwa perlawanan rakyat Surabaya yang kita kenal sebagai perjuangan arek-arek Surabaya saat itu sampai kini kita peringati sebagai Hari Pahlawan (10 Nopember).
Betapa revolusioner dan gagah beraninya mereka, sekalipun hanya bermodal semangat dan jiwa kepeloporan pemuda yang terjaga. Sebuah cerita yang pernah saya ingat dalam suatu wawancara, mengatakan bahwa pemuda-pemuda dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah, di mana sebagian besar eksponen Ansor berada di dalamnya hanya bermodalkan bambu runcing, berada di garis paling depan dalam perang rakyat Surabaya. Komitmen mereka dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa ini dalam perjalanannya tidak tercatat dengan baik dalam memori kolektif kita sekarang. Bahkan mungkin, untuk sebagian besar eksponen Ansor saat ini sama sekali tidak begitu tahu persis apa dan bagaimana eskponen Ansor saat itu mengambil momentum peranan mereka.
Belakangan akhirnya kita tahu juga bahwa sebagian besar para eksponen Ansor yang berjasa besar dalam mempertahankan kemerdekaan itu harus tersingkir akibat politik rasionalisasi tentaranya Bung Hatta. Mereka yang tergabung dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah dipaksa untuk menjadi orang sipil kembali karena dianggap tidak memiliki pengalaman pendidikan ketentaraan. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang kecewa dan akhirnya bersimpati pada gerakan PRRI/Permesta maupun DI/TII di Jawa Barat. Sebuah ironi para pejuang. Seperti habis manis sepah dibuang. Begitulah nasib para eksponen Ansor dalam kelasykaran Hizbullah-Sabilillah mengalami tekanan politik yang jauh lebih besar dari berperang mengangkat senjata.
Dari pemaparan ini, kita menjadi sedikit mengerti bagaimana peran para eksponen Ansor dalam mempertahankan kemerdekaan. Kita mengenang ketokohan KH. Oesman Mansoer (Malang) dalam kelasykaran Hizbullah dan kepemimpinan KH. Moenasir Ali (Mojokerto) dalam kelasykaran Sabilillah. Sampai kemudian, untuk mengenang peran serta para pejuang pesantren ini, berdiri sebuah masjid di Malang yang diberi nama: Masjid Sabilillah. Sayang pula, gerakan sahabat-sahabat Ansor Malang untuk menjadikan KH. Moenasir Ali sebagai pahlawan nasional hingga saat ini belum terwujud. Di samping itu semua, peran para eksponen muda Ansor pada suatu waktu sangatlah terasa sebagai penjaga bangsa.
Ada satu hal yang dapat kita lihat dari sekelumit paparan di atas. Para eksponen Ansor dan mudah-mudahan ini tidaklah salah, GP. Ansor lebih banyak mengambil peran sebagai penjaga bangsa. Sepanjang sejarah kita, komitmen ini rasanya merupakan sebuah visi yang seharusnya terus menerus dihidupkan. Sesuatu sikap yang semestinya tak lapuk di makan hujan dan tak rentan di makan usia. Komitmen dalam menjaga bangsa ini harusnya tetap hidup dan menjadi ruh dari setiap gerakan pemuda Ansor di manapun. Banyak suri teladan dari mereka di masa lalu yang dapat menjadi cermin kita dewasa ini.
Di usianya sekarang (74 tahun!), apakah Ansor masih seperti dulu atau hanya tinggal serpihan-serpihan ilusi dan ke-GR-an organisasional saja? Merasa besar dalam dirinya sendiri tapi tak kuasa melakukan apapun. Mungkin tak ubahnya katak dalam tempurung. Merasa bisa melakukan sesuatu tapi tak sanggup menjalankan apa yang seharusnya dikerjakan. Mungkin pula hal ini tidak begitu penting di jawab. Karena memang bukan jawaban yang diperlukan. Dewasa ini kita membutuhkan sikap dan tindakan yang jelas. Ke arah mana Ansor ingin mengambil peranan dalam perubahan sosial-politik Indonesia yang semakin tidak karuan?
ooOOOoo
Perubahan politik Indonesia paska turunnya Soeharto menandai babak peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Di masa-masa awal gerakan reformasi, euphoria demokrasi begitu kuat terasa di mana-mana. Ada angin perubahan politik yang nyata. Ada ruang kebebasan yang sebelumnya tak pernah kita jumpai. Ada suasana politik dan ruang sosial yang lebih terbuka dari sebelumnya. Ada semacam optimisme yang berlebih bahwa kita akan memperoleh harga diri kita kembali. Sesuatu yang jarang kita peroleh di masa sebelumnya.
Seiring dengan perubahan politik itu pula berdiri partai-partai politik bagai cendawan di musim penghujan. Tak ketinggalan, NU pun pada akhirnya terdorong mendirikan partai berbasis warganya sendiri, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan, seperti kita tahu juga bahwa sekarang ini hubungan antara NU dan PKB seperti minyak dan air. Berada pada kotak yang sama tapi sebetulnya tak pernah bersua, apalagi bertegur sapa layaknya saudara.
Barangkali kita hanya tahu saat ini dampak sosial-kultural dari berdirinya partai dalam tubuh NU adalah merunyamnya pola-pola relasi antar warga NU sendiri di satu pihak. Di pihak lain, begitu kuat dan suburnya kesadaran pragmatisme politik di kalangan anak-anak muda NU sendiri, termasuk Ansor di dalamnya. Sebuah kecenderungan yang sama sekali tidak enak. Tapi, kenyataannya hal itu harus kita hadapi sebagai sebuah cobaan (godaan). Akibat lanjutan dari itu, sebagian besar potensi anak-anak muda NU tercurah habis untuk memenuhi hasrat politik yang teramat besar. Menjadi politisi sebagai pilihan utama dalam mewujudkan cita-cita sosial individual anak-anak muda NU sekarang.
Di dalam tubuh Ansor sendiri kecenderungan pragmatis menjadikan Ansor sebagai jembatan mewujudkan cita-cita politik individual itu terasa begitu kuat arusnya. Namun, tak ada yang harus disalahkan dengan kecenderungan ini. Tak juga boleh dianggap bahwa kecenderungan ini mengkhianati khittah di Ansor sendiri. Ansor saat ini membutuhkan keseimbangan dalam berbagi dan berbagai peran yang akan dan seharusnya dimainkan. Untuk hal ini, saya merasa sebagai bagian dari Ansor sendiri belum melihat atau menemukan bagaimana keseimbangan itu dapat diwujudkan.
Artinya, kesadaran kolektif diperlukannya peran serta Ansor dalam berpolitik tidak serta merta mendinginkan spirit Ansor sebagai penjaga bangsa. Keseimbangan antara keduanya dapatlah ditemukan jika kita semua dapat memahami bahwa di atas segala yang bersifat kepentingan individual, selalu ada kesadaran untuk melihat sisi dan mengingatkan kita pada cita-cita kemaslahatan umum. Begitu mudah mengatakannya memang. Tapi, amat teramat sulit melaksanakannya. Namun, di antara tarik manarik keduanya, selalu ada upaya yang tak bosan-bosannya dilakukan. Selamat harlah Ansor! Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment