Dead Poets Society (DPS), film produksi Peter Weir dan Paul Junger Witt, dibintangi antara lain; Robin Williams, yang berperan sangat apik sebagai seorang guru bahasa, pertama kali di rilis tahun 1989. Film ini mengambil setting sekolah khusus remaja (laki-laki), Welton College, di mana para muridnya berasal dari kalangan orang-orang ternama. Mereka yang sekolah di sini wajib tinggal di asrama dengan aturan-aturan yang sangat ketat dan disiplin tinggi. Karena mereka tengah disiapkan sebagai calon-calon pemimpin generasi aristokrasi baru di Amerika.
Film ini bercerita tentang seorang guru yang memberi inspirasi anak didiknya untuk mengubah pandangan dan sikap mereka agar hidup lebih dinamis, percaya pada pilihan sendiri dan berani menyuarakan ketertarikan serta bakat personalnya. Untuk melakukan sesuatu yang dianggap mustahil di sekolah itu, sang guru pun mengajarkan mereka puisi dan sastra. Sesuatu yang kelak mendorong perubahan, gejolak di kalangan para guru dan pimpinan institusi yang bersangkutan. Dengan hasil akhir, sang guru (yang menjadi guru favorit di sekolah itu) harus pergi karena dianggap bersalah.
Berikut saya kutip ringkasan film DPS yang saya ambil dari november-november.blogspot.com. Blog ini milik seorang Ibu muda bernama Ratna Noviasari (Ibunya Nisa, begitu si Ibu ini memperkenalkan dirinya). Perempuan berjilbab ini, secara pribadi belum saya kenal dan sampai tulisan ini saya buat pun belum sempat saya berkomunikasi dengannya. Secara etis memang saya sudah meminta ijin mengutip narasinya tentang film DPS. Film ini kebetulan juga salah satu film favorit saya. Sekitar tahun 1991, ketika saya masih semester awal kuliah film ini telah berulang-ulang saya tonton.
Film ini secara khusus menginspirasi saya untuk membentuk sebuah kelompok sastra di kampus IAIN Sunan Kalijaga (sebelum berubah menjadi UIN) bernama Komunitas Anak Merdeka (KAM). Di waktu-waktu senggang kami berkumpul melingkar dan setiap individu membacakan puisi-puisinya. Ketika komunitas Matapena (berdiri 2005), kumpulan para penulis muda berlatar pesantren ini sedang giat-giatnya menyelenggarakan road show dan temu penulis sambil mengembangkan workshop creative writing untuk para santri, saya seperti diingatkan kembali oleh film ini.
Google searching cukup berjasa mempertemukan saya dengan blog Ibu muda ini. Saat itu, saya sedang mencari tulisan-tulisan orang seputar film DPS untuk menjadi bagian dari metode refleksi dalam kegiatan Liburan Sastra di Pesantren (LSDP) komunitas Matapena. Blog Ibu muda ini menulis apresiasi yang cukup bagus tentang film tersebut. Berikut adalah ringkasan yang saya ambil dari blog-nya, dengan beberapa potongan konteks yang saya anggap tidak perlu.
Sekolah berasrama Welton (Welton College) mungkin tak ubahnya Pesantren. Lembaga pendidikan yang telah lama ada di bumi nusantara sejak beberapa abad yang lampau, khususnya di pulau Jawa. Gambaran umum tentang Pesantren dapat dibaca dalam tulisan Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, “Tradisi Pesantren,”-nya Dzamahsyari Dhofier dan KH. Saefuddin Dzuhri dalam “Guruku Orang-orang Pesantren”. Secara ringkas, Pesantren merupakan tempat para santri tinggal (mondok), untuk menimba ilmu dari sang guru (Kiai). Orang-orang pesantren sudah teramat biasa hidup dalam aturan-aturan yang ketat, batasan-batasan pergaulan yang dilandaskan pada keyakinan agama. Itulah mengapa para santri sering menyebut Pesantren sebagai ‘penjara suci’.
Film DPS menjadi cermin yang cukup muqtadhal hal (kontekstual) untuk melihat bagaimana jalan pembebasan –sebagaimana ditunjukkan film ini-- sastra itu berlangsung. Dinamisme, kegairahan, kegembiraan anak-anak muda, pencarian dan usaha keras –seperti ditunjukkan oleh komunitas Matapena—dalam merumuskan eksistensi mereka tampak begitu meyakinkan. DPS harus saya anggap sebagai film terbaik untuk melihat bagaimana sastra menemukan rumahnya. Sebuah tontonan bernilai sastra dan inspiring dalam menatap dunia Pesantren kita dewasa ini.
Pesantren Dan Metode Sastrawi (Al-Manhaj Al-Adaby)
Tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangatlah berbeda dengan dunia luar. Cara mereka mengatur waktu menjadi tidak biasa jika diterapkan dalam kehidupan umum. Para santri pun tidak diperbolehkan keluar-masuk sembarangan dari lingkungan Pesantren tanpa ijin dari pengasuh atau pengurus. Biasanya, pengurus adalah santri senior yang ditugaskan Kiai untuk mengawasi para santri. Gambaran kehidupan di lingkungan Pesantren yang cukup ketat ini dimaksudkan sebagai pengejawantahan nilai-nilai keagamaan seperti; menjaga amanah. Sebab, para santri ini tidak hanya berasal dari lingkungan Pesantren itu sendiri, tetapi juga mereka datang dari berbagai pelosok daerah. Para orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk dididik agama. Kepercayaan (amanah) itulah yang dijaga Pesantren agar para santri belajar sungguh-sungguh dan tidak mengecewakan orang tua dan masyarakat yang menunggu peran mereka.
Di lingkungan Pesantren, sekalipun mata pelajaran sastra tidak diajarkan secara khusus, instrumen-instrumen pemahaman sastra dan pendekatan sastrawi dalam praktek pendidikan ala Pesantren sesungguhnya menjadi metode yang sangat kuat berakar. Secara teoritik mungkin hal ini tidak disadari sebagai bagian dari metode. Pada kenyataannya, gaya dan suasana, tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangat mengedepankan pendekatan-pendekatan sastrawi.
Tradisi melantunkan dan menghafal bait-bait nadhom sebagai penghantar mata pelajaran ilmu alat seperti; nahwu dan shorof memudahkan mereka mencerna pemahaman atas ilmu itu sendiri. Kajian-kajian atas kitab kuning karya ulama dan shalaf al-shalih lainnya, untuk sebagian di antara kitab-kitab tersebut ditulis dengan tekstur sastrawi dan berunsur puitik, seperti kitab Zubad, misalnya, cara mengkajinya pun dimulai dari melantunkan dan menghafal bait demi bait isi dari kitab tersebut, betapapun materi dari kitab-kitab itu berisi ajaran-ajaran tasawuf, teologi maupun kaidah-kaidah fiqhiyah dan ilmu-ilmu alat (pengetahuan gramatika bahasa Arab). Kebiasaan sedemikian, secara tradisional membuat lingkungan Pesantren dan para santri khususnya begitu akrab dengan syair-syair, nyanyian-nyanyian, puji-pujian yang menjadi penghantar mereka dalam menghafal pelajaran dari mana pemahaman dan pengetahuan agama mereka ditransferensikan.
Metode sastrawi pada akhirnya menjadi jiwa dari tradisi dan pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu sendiri. Sekalipun para santri tidak secara teoritik belajar sastra, dunia sastra itu sendiri bukan sesuatu yang asing di lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan haflah (pertemuan para santri) yang secara periodik dilakukan biasa ditampilkan pula pementasan-pementasan kesenian khas Pesantren seperti; kasidah, terbangan, pentas rebana dan lain-lain. Bahkan di waktu-waktu tertentu pula selalu ada kegiatan lomba seperti; membaca kitab al-Barzanji dan hapalan bait-bait alfiyah Ibnu Malik dan sebagainya.
Tradisi dan kultur Pesantren yang akrab dengan dunia sastra itu dari tahun ke tahun, seperti tak habis-habisnya melahirkan para pegiat sastra baik yang berkecimpung di tingkat lokal maupun nasional seperti; Faizi El sael, Ahmad Syubanudin Alwi, Haqqi al-Anshory, Arief Fauzi Marzuki, Acep Zamzam Nur, D. Zawawi Imran, Ahmad Tohari, Ragil Suwarna Pragolapati (Alm.), Zaenal Arifin Thoha (Alm.), KH. Maman Imanul Haq, Ahmad Zaky (Zaky Zarung), Mahbub Jamaluddin, Sachree M. Daroini, Kaje Habib, Nor Ismah (Ismah Kajee), Ma’rifatun Baroroh, Pijer Sri Laswiji, Ully, dan tentunya masih banyak lainnya yang tidak sempat disebut di sini.
Pengalaman dan keakraban bersastra yang melekat dalam tradisi dan pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu menjadikan sastra tak ubahnya jiwa dari kehidupan Pesantren itu sendiri. Sastra seperti menemukan rumahnya yang nyaman. Kegiatan sastra begitu nyata dihidupkan, tapi juga barangkali masih malu-malu untuk diakui sebagai bagian dari tradisi Pesantren itu sendiri. Karenanya, proses mengembangkan sastra di lingkungan Pesantren pada akhirnya harus terus menerus dilakukan, bukan semata-mata karena sastra menjadi jembatan penghubung pembelajaran ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, usaha ini dilakukan sebagai bentuk pertanggung jawaban religi atas nilai-nilai agama itu sendiri. “Innallaha jamilun yuhibbu al-jamal.” Allah lah yang terindah. Dia yang menyintai keindahan. Dan, puncak dari segala yang bernama keindahan adalah kembali ke asal mula keindahan dengan cara-cara yang sarat keindahan pula (husnul khotimah).
Sastra Sebagai Jalan Pembebasan
Sastra merupakan jalan pembebasan. Ia hadir di tengah carut marut kehidupan dan sistim sosial yang mampat. Sastra juga menjadi kunci pembuka kebuntuan akibat ketatnya aturan-aturan yang memancung kreativitas dan kebebasan individu. Sastra di lingkungan Pesantren menjadi jalam pembebasan dari kebuntuan memahami pelajaran dan pendalaman ilmu-ilmu agama. Sastra diakui atau tidaki telah menjadi wasilah (penghubung) internalisasi pendalaman pengetahuan di bidang agama.
Perlu dikemukakan pula di sini, lingkungan Pesantren pada umumnya miskin pengakuan dan cenderung ‘alergi’ terhadap sastra. Bahkan, sastra dianggap sebagai bidang keilmuan yang tidak penting diajarkan. Kecenderungan ini berawal dari munculnya anggapan bahwa sastra akan mendekatkan seseorang pada aspek-aspek ‘ma’ashiy’ (sesuatu yang bersifat maksiat) dan karena itu bersastra (baca: berkesenian) sebagai sesuatu yang tabu bagi para santri yang sedang menempuh pendidikan agama. Walaupun sebetulnya bukan sastra itu sendiri tetapi lebih pada persoalan sosiologis. Bahwa sastra, dalam pengertian dunia seni misalnya, cenderung berdampak pada kegiatan-kegiatan yang secara normatif melanggar kaidah-kaidah ajaran agama.
Namun demikian, lingkungan Pesantren tidaklah memungkiri peranan metode sastrawi dalam transferensi ilmu-ilmu keagamaan. Pada kasus ini tampak adanya pola hubungan, sebagaimana telah dikemukakan, masih malu-malu. Di satu pihak sastra tidak dianggap sebagai unsur penting dalam pengajaran, sementara di pihak lain sastra digunakan sebagai instrumen pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren.
Secara teoritik mereka tidak perlu mengerti apa itu sastra. Hidup dan aktivitas sehari-hari mereka di lingkungan Pesantren selama bertahun-tahun pada akhirnya justru menjadi jalan sastra itu sendiri. Mereka adalah lakon dalam pentas laku sastra di lingkungan Pesantren. Jadi, sastra di lingkungan Pesantren bukanlah sesuatu yang menempel dan atau ditempelkan begitu saja. Jalan sastra yang lahir dari tradisi panjang itu merupakan sesuatu yang sudah ratusan tahun melekat. Sejarahnya begitu panjang sebagaimana Pesantren itu sendiri. Sastra, dan dengan demikian metode sastrawi di lingkungan Pesantren diakui atau tidak hakikatnya adalah ‘nalar religi’ lain yang dikembangkan Pesantren secara ‘given’ atau dalam bahasa Pesantrennya sesuatu yang bersifat ‘laduniyah’.
Seiring dengan perkembangan jaman, sastra telah menjadi ‘living tradition’ di lingkungan Pesantren yang tidak lekang di makan waktu. Bilamana mereka telah menjadi bagian dari kehidupan yang lebih umum metode sastrawi ini menjelma dalam habit kerja-kerja kultural mereka di masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sisi keluwesan dan kelenturan orang-orang Pesantren menerima hal-hal baru tanpa merasa perlu menjadi bagian dari kebaruan itu sendiri. Dalam arti, semodern apapun orang Pesantren bukan hal mudah bagi mereka untuk mengubah kultur kepesantrenan mereka. Menjadi modern bukan berarti menjadi orang lain yang sama sekali baru. Sebuah eksperimentasi yang miskin apresiasi bahkan dari negara sekalipun. Wallahu’alam.
---------------------------------
Akhmad Fikri AF. adalah direktur penerbit LKiS Jogjakarta dan pembina komunitas Matapena. Menulis puisi sejak 18 tahun yang lalu. Sebagian puisi-puisinya dipublikasikan di NEW KIDS ON THE BLOG-nya sendiri.
Film ini bercerita tentang seorang guru yang memberi inspirasi anak didiknya untuk mengubah pandangan dan sikap mereka agar hidup lebih dinamis, percaya pada pilihan sendiri dan berani menyuarakan ketertarikan serta bakat personalnya. Untuk melakukan sesuatu yang dianggap mustahil di sekolah itu, sang guru pun mengajarkan mereka puisi dan sastra. Sesuatu yang kelak mendorong perubahan, gejolak di kalangan para guru dan pimpinan institusi yang bersangkutan. Dengan hasil akhir, sang guru (yang menjadi guru favorit di sekolah itu) harus pergi karena dianggap bersalah.
Berikut saya kutip ringkasan film DPS yang saya ambil dari november-november.blogspot.com. Blog ini milik seorang Ibu muda bernama Ratna Noviasari (Ibunya Nisa, begitu si Ibu ini memperkenalkan dirinya). Perempuan berjilbab ini, secara pribadi belum saya kenal dan sampai tulisan ini saya buat pun belum sempat saya berkomunikasi dengannya. Secara etis memang saya sudah meminta ijin mengutip narasinya tentang film DPS. Film ini kebetulan juga salah satu film favorit saya. Sekitar tahun 1991, ketika saya masih semester awal kuliah film ini telah berulang-ulang saya tonton.
Film ini secara khusus menginspirasi saya untuk membentuk sebuah kelompok sastra di kampus IAIN Sunan Kalijaga (sebelum berubah menjadi UIN) bernama Komunitas Anak Merdeka (KAM). Di waktu-waktu senggang kami berkumpul melingkar dan setiap individu membacakan puisi-puisinya. Ketika komunitas Matapena (berdiri 2005), kumpulan para penulis muda berlatar pesantren ini sedang giat-giatnya menyelenggarakan road show dan temu penulis sambil mengembangkan workshop creative writing untuk para santri, saya seperti diingatkan kembali oleh film ini.
Google searching cukup berjasa mempertemukan saya dengan blog Ibu muda ini. Saat itu, saya sedang mencari tulisan-tulisan orang seputar film DPS untuk menjadi bagian dari metode refleksi dalam kegiatan Liburan Sastra di Pesantren (LSDP) komunitas Matapena. Blog Ibu muda ini menulis apresiasi yang cukup bagus tentang film tersebut. Berikut adalah ringkasan yang saya ambil dari blog-nya, dengan beberapa potongan konteks yang saya anggap tidak perlu.
“Film ini bercerita tentang Mr Keating (Robin Williams) yang menjadi guru di Welton, sekolah berasrama khusus putra. Di tengah-tengah suasana asrama yang kaku, peraturan yang ketat dan cara mengajar yang kuno (orang dulu bilang DDCCH: Duduk, dengar, catat, hapal) keberadaan Keating memberikan suasana baru. Cara Keating mengajar bukan saja menarik tapi juga membuka pandangan baru bagi siswa Welton. Beberapa siswa Welton (Neil, Todd, Cammeron, dll) yang menjadikan Keating sebagai guru favorit mencoba mengikuti masa lalu Keating ketika menjadi siswa di Welton dengan membentuk Dead Poets Society (DPS). DPS adalah kelompok yang selalu mengadakan pertemuan rahasia di sebuah gua dekat sungai tak jauh dari asrama. Dalam pertemuan itu setiap anggota membacakan puisi. Baik puisi karya pengarang terkenal maupun puisi karangan sendiri, selain itu mereka juga berdiskusi tentang berbagai hal. Pendeknya, pemikiran murid-murid Keating mengalami keterbukaan dan kebebasan. Mereka kemudian menjadi berani mengambil keputusan yang diyakini oleh hati mereka. Salah satunya Neil, siswa yang sangat cerdas dan sangat tertarik pada teater. Namun keinginannya ditentang oleh ayahnya. Neil bersikukuh, sehingga akhirnya ayahnya memutuskan untuk memindahkan Neil dari Welton dan memasukkannya ke sekolah militer. Neil yang tidak mau menerima akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol ke kepalanya. Kejadian ini menghebohkan dan membuat gusar seluruh orangtua murid. Para orang tua murid mendesak sekolah untuk bertanggung jawab. Karena didesak, akhirnya sekolah mencari kambing hitam. Kambing hitamnya adalah Keating. Guru yang dianggap nyeleneh ini didakwa mempengaruhi para siswa untuk melakukan pemberontakan. Penghianat selalu ada dalam kasus seperti ini. Cammeron menjadi penghianat yang membocorkan mengenai Dead Poets Society demi menyelamatkan diri. Para anggota Dead Poets Society didesak untuk menandatangani pernyataan yang menyalahkan Keating. Keating berhasil dikeluarkan dari welton, namun Keating juga berhasil menjadikan murid-muridnya menjadi orang-orang yang berpikiran merdeka dan berani menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Keating berhasil memberikan 'pendidikan' dalam arti yang sesungguhnya. Di akhir cerita, ketika Keating hendak meninggalkan kelas, para muridnya berani berdiri di atas meja beramai-ramai di depan mata kepala sekolahnya.”
Sekolah berasrama Welton (Welton College) mungkin tak ubahnya Pesantren. Lembaga pendidikan yang telah lama ada di bumi nusantara sejak beberapa abad yang lampau, khususnya di pulau Jawa. Gambaran umum tentang Pesantren dapat dibaca dalam tulisan Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, “Tradisi Pesantren,”-nya Dzamahsyari Dhofier dan KH. Saefuddin Dzuhri dalam “Guruku Orang-orang Pesantren”. Secara ringkas, Pesantren merupakan tempat para santri tinggal (mondok), untuk menimba ilmu dari sang guru (Kiai). Orang-orang pesantren sudah teramat biasa hidup dalam aturan-aturan yang ketat, batasan-batasan pergaulan yang dilandaskan pada keyakinan agama. Itulah mengapa para santri sering menyebut Pesantren sebagai ‘penjara suci’.
Film DPS menjadi cermin yang cukup muqtadhal hal (kontekstual) untuk melihat bagaimana jalan pembebasan –sebagaimana ditunjukkan film ini-- sastra itu berlangsung. Dinamisme, kegairahan, kegembiraan anak-anak muda, pencarian dan usaha keras –seperti ditunjukkan oleh komunitas Matapena—dalam merumuskan eksistensi mereka tampak begitu meyakinkan. DPS harus saya anggap sebagai film terbaik untuk melihat bagaimana sastra menemukan rumahnya. Sebuah tontonan bernilai sastra dan inspiring dalam menatap dunia Pesantren kita dewasa ini.
Pesantren Dan Metode Sastrawi (Al-Manhaj Al-Adaby)
Tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangatlah berbeda dengan dunia luar. Cara mereka mengatur waktu menjadi tidak biasa jika diterapkan dalam kehidupan umum. Para santri pun tidak diperbolehkan keluar-masuk sembarangan dari lingkungan Pesantren tanpa ijin dari pengasuh atau pengurus. Biasanya, pengurus adalah santri senior yang ditugaskan Kiai untuk mengawasi para santri. Gambaran kehidupan di lingkungan Pesantren yang cukup ketat ini dimaksudkan sebagai pengejawantahan nilai-nilai keagamaan seperti; menjaga amanah. Sebab, para santri ini tidak hanya berasal dari lingkungan Pesantren itu sendiri, tetapi juga mereka datang dari berbagai pelosok daerah. Para orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk dididik agama. Kepercayaan (amanah) itulah yang dijaga Pesantren agar para santri belajar sungguh-sungguh dan tidak mengecewakan orang tua dan masyarakat yang menunggu peran mereka.
Di lingkungan Pesantren, sekalipun mata pelajaran sastra tidak diajarkan secara khusus, instrumen-instrumen pemahaman sastra dan pendekatan sastrawi dalam praktek pendidikan ala Pesantren sesungguhnya menjadi metode yang sangat kuat berakar. Secara teoritik mungkin hal ini tidak disadari sebagai bagian dari metode. Pada kenyataannya, gaya dan suasana, tradisi dan pola belajar mengajar di Pesantren sangat mengedepankan pendekatan-pendekatan sastrawi.
Tradisi melantunkan dan menghafal bait-bait nadhom sebagai penghantar mata pelajaran ilmu alat seperti; nahwu dan shorof memudahkan mereka mencerna pemahaman atas ilmu itu sendiri. Kajian-kajian atas kitab kuning karya ulama dan shalaf al-shalih lainnya, untuk sebagian di antara kitab-kitab tersebut ditulis dengan tekstur sastrawi dan berunsur puitik, seperti kitab Zubad, misalnya, cara mengkajinya pun dimulai dari melantunkan dan menghafal bait demi bait isi dari kitab tersebut, betapapun materi dari kitab-kitab itu berisi ajaran-ajaran tasawuf, teologi maupun kaidah-kaidah fiqhiyah dan ilmu-ilmu alat (pengetahuan gramatika bahasa Arab). Kebiasaan sedemikian, secara tradisional membuat lingkungan Pesantren dan para santri khususnya begitu akrab dengan syair-syair, nyanyian-nyanyian, puji-pujian yang menjadi penghantar mereka dalam menghafal pelajaran dari mana pemahaman dan pengetahuan agama mereka ditransferensikan.
Metode sastrawi pada akhirnya menjadi jiwa dari tradisi dan pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu sendiri. Sekalipun para santri tidak secara teoritik belajar sastra, dunia sastra itu sendiri bukan sesuatu yang asing di lingkungan mereka. Kegiatan-kegiatan haflah (pertemuan para santri) yang secara periodik dilakukan biasa ditampilkan pula pementasan-pementasan kesenian khas Pesantren seperti; kasidah, terbangan, pentas rebana dan lain-lain. Bahkan di waktu-waktu tertentu pula selalu ada kegiatan lomba seperti; membaca kitab al-Barzanji dan hapalan bait-bait alfiyah Ibnu Malik dan sebagainya.
Tradisi dan kultur Pesantren yang akrab dengan dunia sastra itu dari tahun ke tahun, seperti tak habis-habisnya melahirkan para pegiat sastra baik yang berkecimpung di tingkat lokal maupun nasional seperti; Faizi El sael, Ahmad Syubanudin Alwi, Haqqi al-Anshory, Arief Fauzi Marzuki, Acep Zamzam Nur, D. Zawawi Imran, Ahmad Tohari, Ragil Suwarna Pragolapati (Alm.), Zaenal Arifin Thoha (Alm.), KH. Maman Imanul Haq, Ahmad Zaky (Zaky Zarung), Mahbub Jamaluddin, Sachree M. Daroini, Kaje Habib, Nor Ismah (Ismah Kajee), Ma’rifatun Baroroh, Pijer Sri Laswiji, Ully, dan tentunya masih banyak lainnya yang tidak sempat disebut di sini.
Pengalaman dan keakraban bersastra yang melekat dalam tradisi dan pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren itu menjadikan sastra tak ubahnya jiwa dari kehidupan Pesantren itu sendiri. Sastra seperti menemukan rumahnya yang nyaman. Kegiatan sastra begitu nyata dihidupkan, tapi juga barangkali masih malu-malu untuk diakui sebagai bagian dari tradisi Pesantren itu sendiri. Karenanya, proses mengembangkan sastra di lingkungan Pesantren pada akhirnya harus terus menerus dilakukan, bukan semata-mata karena sastra menjadi jembatan penghubung pembelajaran ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, usaha ini dilakukan sebagai bentuk pertanggung jawaban religi atas nilai-nilai agama itu sendiri. “Innallaha jamilun yuhibbu al-jamal.” Allah lah yang terindah. Dia yang menyintai keindahan. Dan, puncak dari segala yang bernama keindahan adalah kembali ke asal mula keindahan dengan cara-cara yang sarat keindahan pula (husnul khotimah).
Sastra Sebagai Jalan Pembebasan
Sastra merupakan jalan pembebasan. Ia hadir di tengah carut marut kehidupan dan sistim sosial yang mampat. Sastra juga menjadi kunci pembuka kebuntuan akibat ketatnya aturan-aturan yang memancung kreativitas dan kebebasan individu. Sastra di lingkungan Pesantren menjadi jalam pembebasan dari kebuntuan memahami pelajaran dan pendalaman ilmu-ilmu agama. Sastra diakui atau tidaki telah menjadi wasilah (penghubung) internalisasi pendalaman pengetahuan di bidang agama.
Perlu dikemukakan pula di sini, lingkungan Pesantren pada umumnya miskin pengakuan dan cenderung ‘alergi’ terhadap sastra. Bahkan, sastra dianggap sebagai bidang keilmuan yang tidak penting diajarkan. Kecenderungan ini berawal dari munculnya anggapan bahwa sastra akan mendekatkan seseorang pada aspek-aspek ‘ma’ashiy’ (sesuatu yang bersifat maksiat) dan karena itu bersastra (baca: berkesenian) sebagai sesuatu yang tabu bagi para santri yang sedang menempuh pendidikan agama. Walaupun sebetulnya bukan sastra itu sendiri tetapi lebih pada persoalan sosiologis. Bahwa sastra, dalam pengertian dunia seni misalnya, cenderung berdampak pada kegiatan-kegiatan yang secara normatif melanggar kaidah-kaidah ajaran agama.
Namun demikian, lingkungan Pesantren tidaklah memungkiri peranan metode sastrawi dalam transferensi ilmu-ilmu keagamaan. Pada kasus ini tampak adanya pola hubungan, sebagaimana telah dikemukakan, masih malu-malu. Di satu pihak sastra tidak dianggap sebagai unsur penting dalam pengajaran, sementara di pihak lain sastra digunakan sebagai instrumen pola belajar mengajar di lingkungan Pesantren.
Secara teoritik mereka tidak perlu mengerti apa itu sastra. Hidup dan aktivitas sehari-hari mereka di lingkungan Pesantren selama bertahun-tahun pada akhirnya justru menjadi jalan sastra itu sendiri. Mereka adalah lakon dalam pentas laku sastra di lingkungan Pesantren. Jadi, sastra di lingkungan Pesantren bukanlah sesuatu yang menempel dan atau ditempelkan begitu saja. Jalan sastra yang lahir dari tradisi panjang itu merupakan sesuatu yang sudah ratusan tahun melekat. Sejarahnya begitu panjang sebagaimana Pesantren itu sendiri. Sastra, dan dengan demikian metode sastrawi di lingkungan Pesantren diakui atau tidak hakikatnya adalah ‘nalar religi’ lain yang dikembangkan Pesantren secara ‘given’ atau dalam bahasa Pesantrennya sesuatu yang bersifat ‘laduniyah’.
Seiring dengan perkembangan jaman, sastra telah menjadi ‘living tradition’ di lingkungan Pesantren yang tidak lekang di makan waktu. Bilamana mereka telah menjadi bagian dari kehidupan yang lebih umum metode sastrawi ini menjelma dalam habit kerja-kerja kultural mereka di masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sisi keluwesan dan kelenturan orang-orang Pesantren menerima hal-hal baru tanpa merasa perlu menjadi bagian dari kebaruan itu sendiri. Dalam arti, semodern apapun orang Pesantren bukan hal mudah bagi mereka untuk mengubah kultur kepesantrenan mereka. Menjadi modern bukan berarti menjadi orang lain yang sama sekali baru. Sebuah eksperimentasi yang miskin apresiasi bahkan dari negara sekalipun. Wallahu’alam.
---------------------------------
Akhmad Fikri AF. adalah direktur penerbit LKiS Jogjakarta dan pembina komunitas Matapena. Menulis puisi sejak 18 tahun yang lalu. Sebagian puisi-puisinya dipublikasikan di NEW KIDS ON THE BLOG-nya sendiri.
Fik, aku agak terganggu dengan idiom "pembebasan" dalam kutipan ttg film itu. Kalau tidak salah, ending film itu "membebaskan anak-anak calon aristokrat menjadi lebih manusia dengan sastra". La kaitan dengan ulasanmu apa? karena sastra dalam pesantren kan sudah menjadi "living tradition". Smentara di film itu menceritakan perubahan "revolusioner" (perubahan betul-betul baru) di sekolah Keeting. Sementara dipesantren "evolusioner" (almuhafdlatu 'ala qadim al-sholih itu). Jadi idiom membebaskan itukurang tepat dipake untuk menilai perubahan dipesantren. Karena dalam fil itu idiom "membebaskan" equivalen dengan "revolusi"..(lutfi r)
ReplyDeleteBetul, sejak lama saya hanya selalu beringat-ingat tentang kedekatan sastra dengan kehidupan pesantren, tetapi saya selalu tidak dapat membahasakan hubungan mesra itu. saya pernah menulis sebuah esai panajng tetang silsilah sastra dan intelektualisme di pesanten dengan mengacu pada istilah "sastra pesanten". Terima kasih. Posting komentar ini dapat dianggap sebagai teguran sebagai ganti karena saya gagal ke Jogja sewaktu Kemah Sastra Pesanten lalu karena alasan kegiatan kelompok masyaraakt tiap bulanan. Trims. Wassalam.
ReplyDeletedan nama saya... M Faizi, nggak pake el-sael karena itu sesekali dipake Abrori si wartawan alumni ARENA itu. Dulu saya pakai nama Faaizi L Kaelan. Berhubung sekarang saya pulang kampung, jadi wajaba 'alayya untuk mutasi/balik nama menjadi Plat-M.......Faizi, he...he...
ReplyDeleteFik, thanks for this. Ada yang tertinggal dari tulisanmu, yakni soal kelemahan dan kekurangan pesantren dan santrinya. Bila itu diberi ruang untuk diulas di sini, maka 'jalan pembebasan' guna melewati kelemahan itu menjadi relevan. Ketika membaca tulisanmu, aku belum mendapatkan 'persoalan' (tapi bukan 'problem' namun lebih tepat: 'challenge' = tantangan) dunia pesantren. Persoalannya bukan sekedar 'pesantren justru cenderung alergi terhadap sastra', seperti generalisasi darimu di atas. Tapi justru kemampuannya muhafadzah 'ala qaadim / menjaga tradisi lama yang bagus; proses sastrawi para santri dalam setiap kesempatan penyerapan transfer ilmunya (sementara mereka diperparah ketika ternyata gagap dan kurang modal dalam menyerap hal baru yg baik). Akhirnya mereka minder. Sikap minder dan 'kurang percaya' diri inilah yang harus diperbaiki... dan salah satunya melalui sastra: elan vital pesantren sebagai episentrum pendidikan klasik yang justru diadopsi oleh berbagai komunitas modern. Pertanyaannya kemudian, apakah persinggungan pesantren dengan dunia modern yang melahirkan 'pesantren modern' masuk dalam kategori (baca: generalisasi) 'pesantren' yang dipersepsikan oleh mas Fikri? Bila jawabannya 'tidak', maka itu tentu menjadi satu tema diskusi baru lagi... tabik (Alwis)
ReplyDelete