(Tulisan ini merupakan karya seorang karib saya. Mengingat begitu pentingnya tulisan ini, saya publish untuk kepentingan orang banyak). Salam hangat, fikri
Buku Apa Yang Dibaca Bangsa Kita ?
Refleksi 1 Abad Kebangkitan Nasional
Oleh : Arif Toga
Sejak awal tahun ini, tentunya kita sudah banyak melihat, mendengar, dan membaca berbagai refleksi atas 1 Abad Kebangkitan Nasional. Segenap insan peduli bangsa dari bebagai bidang seperti politik, ekonomi, social, dan budaya telah memberikan refleksi sucinya. Maka, pada momen Pameran IKAPI DIY kali ini, saya ingin ikut nimbrung ‘berefleksi ria’. Tentunya dari dimensi ranah saya, yaitu dunia buku. Dunia ilmu penuh liku.
Pameran Buku IKAPI DIY kali ini sungguh ‘manis’ momennya. Bertepatan dengan 1 Abad Kebangkitan Nasional. Diselenggarakan pada bulan keramat, Bulan Agustus, yang 63 tahun lalu diproklamirkannya bangsa ini sebagai bangsa MERDEKA. Dan dipermanis lagi dengan tema pameran ‘Merdeka itu Cerdas’. Manis sekali, bukankah buku salah satu media pencerdasan bangsa ?
Ada beberapa batasan dalam tulisan ini. Pertama, berdasarkan data golongan buku yang terjual selama tahun 2007 di satu toko buku yang saya kelola di Jogja. Ketiga, saya berasumsi, buku dibeli untuk dibaca dan menjadi pilihan bacaan masyarakat. Keempat, data hanya diambil dari buku ‘non teks’. Sedangkan buku teks (buku pelajaran sekolah dan buku kuliah perguruan tinggi) tidak diikutkan. Pertimbangannya, pola konsumsi buku teks lebih dipengaruhi motif ‘wajib’ bukan motif pilihan, keinginan, atau selera pribadi. Mengingat tulisan ini untuk mengetahui buku yang menjadi pilihan bacaan masyarakat, maka lebih representative jika dibatasi pada buku non teks. Dan kelima, datanya berdasarkan eksemplar bukan dari nominal.
Berangkat dari 80-an golongan buku yang kami miliki, secara eksemplar, data menunjukkan sebagian besar buku yang dibaca/diminati (78%) berasal dari sebagian kecil golongan buku (20%). Atau sebesar 62% jika ditarik hanya sampai ke 10% dari total golongan buku. Secara berurutan, 62% eksemplar buku tersebut disumbang hanya oleh : golongan buku computer, komik, novel, agama, majalah, motivasi, psikologi, dan keterampilan praktis.
Begitu pula dengan buku yang diminati di tiap-tiap golongan. Sebagian besar (rata-rata lebih dari 50%) didominasi oleh sebagian kecil judul buku (10%). Breakdown berikut ini perlu disimak dengan seksama agar tidak terlalu deviatif dalam membaca data di atas.
Pada Golongan Buku Komputer, kecuali majalah computer, buku yang diminati didominasi oleh tema seputar internet (dunia web, blog), hacking, dan membuat virus. Globalisasi arus informasi dan realitas media yang meleburkan batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideology, atau kelas, sangat mempengaruhi tren pilihan bacaan di golongan ini. Di sini individu-individu dapat berbuat sesuka hatinya.
Pada Golongan Buku Komik, sampai saat ini masih didominasi komik-komik dari Jepang. Dan nyaris semua komik-komik yang paling diminati, juga ditayangkan media televisi. Komik adalah buku hiburan dan bacaan paling ringan, teman pengembaraan fantasi tanpa beban. Sifat ‘renyahnya’ cukup menggoda pembaca dengan rentang usia cukup lebar. Mulai anak-anak yang belum bisa baca (menikmati gambarnya saja) sampai pada usia 30-an.
Pada Golongan Buku Novel, selama tahun 2007, sebanyak 12% eksemplar dari total novel yang dikonsumsi, didominasi oleh karya Habiburrahman El Shirazy dan Andrea Hirata. Fluktuasi penjualan dari keduanya didorong oleh kekuatan media massa, televise, dan film. Sedangkan novel lainnya dibagi dua. Yang bernuansa religi dipengaruhi karya Habiburrahman, sehingga banyak tema atau judul apapun memakai kata ‘Cinta’. Yang satunya, novel popular seputar tema gaya hidup popular/posmo.
Pada Golongan Buku Agama didominasi oleh produk generic dan non generic. Produk generic meliputi buku Yasin, Iqro’, Juz Amma, Kitab Suci, dan Tuntunan Ibadah. Kedua, buku agama non generic yang diminati adalah buku yang judulnya selalu memakai kata ‘menguak’, ‘mukzizat’, ‘keajaiban’, ‘rahasia’, atau ‘misteri’. Di luar itu, memang Buku La Tahzan masih menjadi idola untuk dibaca. Apalagi sempat nongol di Film Nagabonar Jadi 2 yang cukup mempengaruhi fluktuasi penjualannya.
Pada Golongan Majalah cukup banyak bertebaran majalah tentang gaya hidup posmodern. Paling menonjol seputar tentang rumah seperti taman, ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, kreasi cat rumah, pagar, carport dan sudut-sudut rumah lainnya. Sebagian besar materi yang ditawarkan berwujud eksplorasi arsitektur dalam koridor kebutuhan atas perayaan gaya dan permukaan. Lebih pada penekanan fiksionalitas dan sifat main-main. Menurut komentar teman saya Eko Prawoto, seorang arsitek, banyak majalah arsitektur seputar rumah sebagai tempat tinggal, cenderung hanya membuka apresiasi pada bentuk atau gaya. Namun mengabaikan pergumulan konsep, wacana atau budaya. Istilah ‘gojek kere’nya adalah ‘mung rembugan kulit’. Sehingga arsitektur sendiri, yang merupakan salah satu media visual, hanya diapresiasi sebatas penghasil symbol hedonsitas dan pencitraan. Kehadiran arsitektur pada gilirannya, dalam ranah bacaan popular, hanya dituntut sebagai ‘ideology perancang’, mengorbankan substansi nilai-nilai dan kegunaannya.
Pada Golongan Buku Motivasi, pertama didominasi oleh buku self improvement atau how to yang bersaudara erat dengan dunia MLM (multilevel marketing). Kedua, oleh buku tentang meraih kesuksesan dan menjadi kaya raya. Jargon-jargon yang membalutnya adalah terminologi seperti cepat, mudah, memenangkan, menguasai, dan semacamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa gelombang MLM dan spiritualistic secular paradigm yang diajarkan para motivator melalui seminar/pelatihan mampu menciptakan dan melahirkan minat baca masyarakat kepada buku-buku ini. Pendekatan tersebut dianggap mampu memberikan obat alternatip atas kegelisahan dan keputus-asaan hidup. Terutama bagi yang ‘merasa tidak sabar’ ataupun ‘salah memahami’ potensi dari pendekatan spiritualistic religi dan ilmu pengetahuan.
Pada Golongan Buku Psikologi, data yang ditemukan tidak kalah unik. Ternyata masyarakat sangat berminat pada buku-buku tentang kiat, strategi, dan siasat menghadapi psikotes serta job interview dalam rangka sukses mencari pekerjaan. Buku bertema tentang ini di atas 30% dari jumlah eksemplar buku psikologi yang laku. Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman. Apabila saya berkepribadian pemarah, ingin melamar pekerjaan dengan kualifikasi mampu mengendalikan emosi. Apakah dengan membaca buku berjudul ‘Kiat Menaklukkan Psikotes’, dalam waktu singkat bisa berubah menjadi tidak pemarah dan akhirnya saya lulus psikotes ? Apakah mengubah kepribadian hasil akumulasi perjalanan hidup, dapat diubah secara instan ?
Terakhir adalah Golongan Buku Keterampilan Praktis. Di sini didominasi oleh buku tentang dunia tata boga (makanan) dan fashion. Meliputi resep makanan, resep kue, pernik-pernik fashion, mode pakaian, boneka, dan lain-lain. Minat yang muncul bukan berasal dari kebutuhan individu, tetapi lebih disebabkan oleh objek (komoditi) yang sedang tren. Peminatnya sebagian besar adalah wanita dengan rentang usia muda sampai dewasa (berkeluarga). Motif pengonsumsiannya adalah hobby dan sangat rentan terhadap eksploitasi dari kekuatan pasar.
Sampai pada tahap ini, secara deskriptif sebenarnya sudah terlihat sketsa atas ‘buku apa’ yang dibaca masyarakat saat ini atau setelah 1 Abad Kebangkitan Nasional. Termasuk pula deskripsi tentang budaya konsumsi buku masyarakat. Analisa secara kuantitative tidak saya munculkan dalam tulisan ini. Agar saya terbebas dari ’godaan’ menghakimi ataupun saling menyalahkan. Namun, tidak ada salahnya kita melirik ramalan Nietzsche tentang Nihilisme sekitar 1 abad yang lalu. Bahwa perkembangan peradaban manusia tidak menuju pada ‘isi’ tetapi ‘kosong’ (nihil). Gara-gara ‘ngomong’ ini, dia sempat dianggap gila pada waktu itu.
Saya sebenarnya tergelitik dan sedikit curiga. Terutama pada budaya konsumsi buku yang terdeskripsi di atas. Ada indikasi cukup kuat memiliki kemiripan modus dengan mekanisme kerja budaya popular atau budaya massa. Menurut ST Sunardi (Kata Pengantar, Popular Culture, Dominic Srinati, Jejak, 2007), ‘…Kalau seni rakyat muncul dan bertahan karena kehendak rakyat (dengan tradisinya), seni kerakyatan karena kehendak bangsa (dengan ideology kerakyatannya), seni popular lahir dan bertahan karena kehendak media (dengan ideology kapitalisme) dan konsumsi. Media dan konsumsi menggeser ikatan social yang semula mementingkan aspek moral dan kognisi dengan ikatan estetik’. Terjadi penyeragaman rasa atau selera, baik dalam konsumsi barang fisikal maupun ilmu. Mode of consumption yang ada bukan lahir dan berakar dari rakyat, tetapi dibentuk oleh kekuatan capital demi tercapainya massifikasi pasar.
Dominic Srinati juga menuliskan, budaya massa adalah sebuah budaya standar, memiliki rumusan, berulang dan bersifat permukaan, yang mengagungkan kenikmatan remeh, sentimental, sesaat dan menyesatkan dengan mengorbankan nilai-nilai keseriusan, intelektualitas, penghargaan atas waktu dan autensitas. Oleh karena itu, budaya massa adalah suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, lebih cenderung pada pengembaraan fantasi tanpa beban dan pelarian.
Saya cukup deg-degan juga, ketika mencoba menjalin benang merah antara sketsa budaya konsumsi buku di atas dengan kerangka teori budaya massa ini. Deg-degan ini, terutama disebabkan, karena saya sendiri adalah salah satu stakeholder dunia buku. Yang tidak bisa cuci tangan begitu saja, apalagi merasa tak terlibat. Dante Alighieri berpendapat, the darkest places in the hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis.
Penyebab lainnya, karena budaya massa berpotensi mengancam peranan buku sebagai salah satu media pencerdasan bangsa. Buku yang dipilih dan dibaca sebagian besar masyarakat (penyeragaman rasa) adalah buku yang kurang memiliki tantangan intelektual. Buku akan dihadirkan (diiming-imingkan, dijejalkan) untuk dikonsumsi seperti komoditi lain di budaya massa. Buku best seller (diminati banyak orang) tidak ditentukan nilai intelektualnya, tetapi ditentukan oleh system kebutuhan masyarakat yang diatur dan diciptakan sesuai dengan kepentingan tema buku yang akan dipasarkan (komoditi). Sehingga kalaupun ada sebuah buku benar-benar berkualitas dan ‘ketiban sampur’ menjadi best seller, penyebabnya tetap bukan kualitasnya tetapi karena pencitraannya (estetik) dan banyak diomongin orang (massifikasi).
Jika Budayawan Sindhunata mengillustrasikan buku ibarat kaki, yang membuat kita tak gamang menjalani kembara kehidupan. Akankah kita punya kaki yang kuat ?
Mari kita lihat kegelisahan Amien Rais, dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia. Nasionalisme kita menjadi nasionalisme dangkal, membela merah putih dalam hal-hal yang bersifat simbolik. Dan tanpa sadar serta tak dapat menolak, dituntun dengan halus menjadi subordinasi kekuatan korporatokrasi. Menjadikan bangsa kita bangsa yang inferior (rendah diri) dan bermental inlander (merasa nikmat dalam ketergantungan).
Mahatma Gandhi juga mengatakan, ‘Ada 7 macam dosa di dunia : kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa nurani, pengetahuan tanpa watak, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip’.
Merdeka berarti berdaulat, mandiri dan memiliki identitas wacana. Berdaya untuk memilih wacana terbaik bagi diri sendiri. Dan terbebas dari eksploitasi kekuatan wacana yang dijejalkan. Sehingga kebalikan dari itu semua, berarti belum memiliki kemerdekaan wacana.
Selanjutnya jika disandingkan dengan data golongan buku yang paling diminati. Juga breakdown buku yang diminati di tiap golongan. Lalu budaya konsumsi buku masyarakat yang ikut-ikutan (massif) dan keseragaman rasa. Serta ancaman atas peranan buku sebagai media pencerdasan bangsa dari realitas media dan konsumsi yang mengabaikan nilai-nilai intelektualitas. Maupun mode of consumption masyarakat saat ini yang rawan eksploitasi.
Maka pertanyaannya. Sudah cerdaskah kita ? Atau sudah merdekakah kita ?
Sekali Merdeka Tetap Merdeka !
(Jogja, Akhir Juli 2008)
Sumber Pencerahan :
1. Popular Culture, Dominic Srinati, Jejak, Mei 2007.
2. Teori Kebudayaan, Editor Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Kanisius, 2005
3. Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia, Amien Rais, PPSK, April 2008
4. Bukuku Kakiku, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Penulis : Pimpinan Toko Buku Diskon Togamas Jogja.
Karibku yang baik, trims deh dimuat di blog Anda. Semoga bermanfaat. Merdeka !
ReplyDelete