Judul Buku: NEGERI KONG DRAMAN: Cerita-cerita Puitis Kampung Halaman untuk Indonesia
Penerbit: matapena dan bale sastra kecapi
penulis: akhmad fikri af.
harga: Rp. 16.500
Betawi. Sebuah jejak yang masih sulit untuk ditelusuri secara utuh. Buku-buku tentang Betawi hanya menulis sebatas betawi adalah sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah ibukota Jakarta. Orang-orang Betawi, secara biologis, adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu.( wikipedia.org).
Membaca Betawi seolah-olah membaca teks tak terbatas yang penuh dengan perjalanan romantisme sekaligus tragik. Romantika karena Betawi banyak menyimpan kenangan manis, tragik karena Betawi juga punya cerita yang memilukan bagi warganya sepanjang perjalanan sejarahnya. Meski sebuah entitas penting di nusantara, namun tidak banyak buku yang mengupas tentang Betawi secara menyeluruh.
Di tengah minimnya buku yang mengulas Betawi itu, kehadiran buku “Negeri Kong Draman (Kisah-kisah Puitis Kampung Halaman untuk Indonesia)” yang diterbitkan Matapena Jogjakarta (grup LKiS) ini kemudian menjadi penting. Buku yang berupa kumpulan puisi ini ditulis oleh Akhmad Fikri, intelektual muda NU yang juga seorang Betawi tulen, dari kampung Betawi pinggiran, Kampung Gondrong Petir, namanya.
Buku berisi 72 puisi ini semuanya menceritakan tentang Betawi, mulai dari permainannya, logat, tradisi, dan sebagainya. Buku ini berusaha memotret Betawi dalam bingkai puisi romantik sehingga isinya pun akan terasa beda dengan buku-buku yang mengulas Betawi umumnya. Membaca buku ini, kita dengan mudah dapat menyelami dan memahami Betawi dengan keanekaragamannya tanpa perlu mengercitkan dahi. Sebab ditulis dengan puitis dan mantun sehingga kita bisa berlama-lama untuk membacanya.
Meski dengan puisi, namun gambaran tentang Betawi yang ingin dieksplorasi Fikri cukup mengena. Misalnya, penulis ingin menggambarkan bahwa Betawi sekarang ini sudah mulai tergerus dengan perubahan zaman, salahsatunya adalah pantun ini,
zaman sekarang orang betawi
makin ke pinggir kecebur kali
tanah sepetak jadi rebutan
salah siapa kurang didikan
Lalu ada puisi yang berjudul betawi punya nasib,
seperti kubilang pada abang
berbilang-bilang sawah berganti rumah
beberapa dari mereka pindah-pindah
makin minggir terus ke pinggir dulunya di tengah
Selain gambaran tragik tentang Betawi, penulis juga ingin mengingatkan bahwa Betawi kaya permainan tradisional yang membuat siapa saja di masa lalu akan terkenang. Ada petak umpat, main pletokan, tendang sambuk, tradisi ngubek, dan sebagainya. Salahsatu puisi tentang tendang sambuk yang ditulis Fikri antara lain:
mincoeng kontol ludes
mangmang siamang ngudes
werwer gudawer jebrot
ada satu ada dua
bintang timbul jelujes
anak-anak yang riang
meletakkan telunjuk
di telapak tangan mungil
dan kembali kudengar gema
mantra yang sama
PUISI UNTUK SEMUA
Tidak sulit untuk memahami buku ini meski isinya semuanya berupa puisi. Karena memang puisi yang ditulis Fikri tidak menganut mazhab manapun. Puisi-puisi di dalam buku ini banyak menggunakan diksi kebetawian yang sudah akrab di telinga masyartakat Betawi. Sehingga-sekali lagi- kita tidak akan menemukan kesulitan untuk mengerti puisi ala Betawi ini.
Lalu, kenapa kehadiran buku ini menjadi penting? Bukankah setiap kali kumpulan puisi diterbitkan jarang yang menjadi best seller? Bahkan secara financial, buku kumpulan puisi tidak menguntungkan. Mungkin, penerbitan antologi puisi Fikri ini tidak berangkat dari sisi materi untuk kejar setoran penerbit. Buku ini, tampaknya diterbitkan, atas dasar idealisme sang penerbit untuk memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia dan memperkaya multikulturisme di belahan nusantara. Dengan pengayaan-pengayaan itu diharapkan muncul sebuah ciri khas sebuah bangsa dalam keragaman entitas.
Selain itu, kehadiran buku ini juga ingin mempertegas bahwa puisi tidak mesti ditulis dengan bahasa-bahasa yang melangit dan sulit dipahami. Puisi juga dapat ditulis dengan bahasa keseharian yang renyah dan enak untuk dinikmati oleh semua orang, bukan oleh segelintir orang saja. Hal inilah yang membuat Fikri sebagai salah satu penyair asal Betawi yang berani melawan arus. Fikri berani untuk tampil apa adanya, menjadi diri sendiri, tanpa harus terikat dengan diksi kesusastraan modern. Karena itu dia menulis puisi dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami maksudnya.
Buku ini juga ingin mengajak kepada kita untuk kembali kepada ‘akar’ tradisi tempat di mana kita awalnya berada. Fikri memandang pentingnya pencarian ‘akar’ tradisi ini untuk dapat diolah menjadi sebuah ciri khas yang dapat menopang sebuah bangsa dengan multikulturisme. Tanpa ‘akar’ bagaimana mungkin sebuah bangsa dapat berdiri dengan tegak dan bermartabat.
Dengan puitis, Fikri mengilustrasikan filsafat akar. Akarlah yang mengantarkan saripati yang dibutuhkan pohon untuk tumbuh, berbunga dan brbuah. Akar pula yang memperkokoh pohon agar tidak mudah goyah diterjang badai angin. Semakin kuat akar menjalar mencari dan menemukan saripati bumi, semakin kokoh pula pohon menyembulkan batang dan lekukan rantingnya. Pohon tanpa akar akan kesulitan bertahan hidup. Seperti pohon benalu, penumpang gelap yang hidup dari kerja keras pohon induk namun nasibnya tetap saja sebagai benalu. Ia hidup dari mencuri saripati sebelum akhirnya disingkirkan petani. (hlm vii)
Di banyak halaman buku ini Fikri-yang juga Direktur LKiS Jogjakarta- memang lebih banyak mengisahkan masa kecil penulis di kampung halamannya. Ingatan Fikri tentang masa kanak-kanak-sebagaimana tercermin dalam setiap puisinya ini- di kampung halamannya masih direkam kuat dalam benak sanubari. Setiap puisi yang ditulis tentang kampung halamannya memiliki ruh ‘keakaran’ yang dapat membuat kita terdecak.
Radhar Panca Dahana, dalam epilognya, menyebut, Fikri seakan-akan membuat sebuah tangga yang menjorok ke bawah, kita diajak turun untuk mendapatkan dunia di mana manusia bukan cuma bertetangga dengan alam, tapi hidup bersama bahkan menyatukan iramanya. Tidak ada ketegangan antara pikiran, hati, dan nafsu manusia dengan semua fenomena dan isi alam; dengan bebek, sawah, lumpur, hingga kontol moneng, atau itil layu.
Jangan berprasangka buruk dulu. Di negeri engkong Draman, biji buah (jambu mete) yang nongol dan enak kalau digoreng atau dibakar itu namanya kontol moneng. Sedang itil layu sebenarnya hanya nama lain dari daun putri malu yang bila disentil layu. (hal. 87)
Lebih dari itu, salah satu kekhasan buku ini, ditulis dengan alur bahasa yang familiar di telinga masyarakat Betawi. Membaca buku ini, kadang-kadang membuat kita tersenyum lebar (kalau yang tidak kuat bisa tertawa menahan geli) karena di dalamnya ada kekonyolan, keluguan, dan kecerdikan masyarakat Betawi.
Di atas kelebihannya itu, tentu saja buku ini juga menyimpan beberapa kelemahan. Meski demikian, kelemahan ini tidak mengurangi rasa nikmat saat membaca buku ini apalagi bagi pembaca yang punya pengalaman bersama penulis saat kecil lalu di sebuah kampung halaman.(*) (ahmad lutfi)
No comments:
Post a Comment