Faksi kaum muda NU kultural mulai dikenal luas karena sikap kritis mereka atas tingginya hasrat politik dalam NU. Pada awalnya Gus Dur merupakan faktor utama pendorong semangat gerakan ini. Gagasan-gagasan cerdas di bidang sosial-politik, keagamaan, kebudayaan dan bahkan ekonomi lahir dari tulisan-tulisan Gus Dur sepanjang 70-an hingga 90-an. Dalam tiga dasawarsa Gus Dur sangat menginspirasi para aktivits muda NU dalam mencari formula gerakan organisasi ini. Formula yang dianggap mampu melahirkan peta orientasi baru gerakan NU dari sebelumnya berpolitik kembali kepada gerakan kultural yang berpihak pada kaum Nahdliyin di pedesaan.Sepanjang pengetahuan penulis gagasan Gur Dur tersebut banyak melahirkan aktivis-aktivis muda NU dengan pola pemikiran ala dirinya. Eksperimen-eksperimen Gus Dur di bidang pemikiran sosial-politik melahirkan kesadaran baru di kalangan anak-anak muda tentang kebangsaan dan kewarganegaraan. Di bidang pemikiran keagamaan, sebagaimana kita tahu, ide-ide Gus Dur memberi pencerahan anak-anak muda untuk mencoba mengaitkan pemikiran keagamaan dengan konteks lokalitas keindonesiaan. Dalam ranah kebudayaan Gus Dur telah meletakkan jalan bagi kajian-kajian lebih lanjut atas pentingnya identitas nasional sebagai bangsa dan bagian dari warga dunia. Di bidang ekonomi, perhatian Gus Dur terhadap tumbuhnya mentalitas enterpreneurship di kalangan warga Nahdliyin tidaklah kurang.
Gus Dur telah meletakkan dasar-dasar gerakan NU yang komprehensif bahkan jauh melebihi kapasitas dirinya untuk senantiasa setia pada ide-ide awalnya. Ia juga menjadi mitos tentang orang langka yang lahir dari kalangan NU. Namun, Gus Dur merupakan pengecualian dari watak dan karakteristik dasar warga Nahdliyin pada umumnya. Begitu kira-kira kelakar orang di luar sana. Dan bahkan sebagaimana mitos dalam revolusi: Gus Dur memakan anak kandungnya sendiri. Mengapa bisa begitu? Mengapa kini Gus Dur terkesan berada di sisi yang sangat berseberangan dengan kaum muda yang dididik-besarkannya sendiri?
Gus Dur Juga Manusia
Gus Dur juga manusia. Sebuah jawaban yang sederhana. Mungkin juga tidak perlu dijelaskan gamblang. Pemahaman kita tentang Gus Dur barangkali dapat dilihat dari sisi mana kita memahami diri kita sendiri. Rasa lelah pikir. Capai menunggu. Tidak sabar menanti perubahan. Menjadi “narsis”. Pribadi penuh ego. Sangatlah manusiawi apabila Gus Dur juga memiliki kegelisahan sedemikian. Keterbatasan dalam dirinya semakin tidak memungkinkan untuk tidak bergantung pada orang lain. Cerita tentang Gus Dur adalah cerita tentang kita yang mencoba menjadi atau berada dalam posisi sebagaimana dirinya.
Penulis menjadi sangat maklum dengan perubahan seperti itu. Merupakan hal yang wajar terjadi perubahan. Entah itu dilihat dari sisi positif maupun negatifnya. Di antara yang seharusnya tidak hilang untuk terus dicari dan dimaknai dari apa yang telah dilakukan Gus Dur, adalah sikap dan pendiriannya untuk terus menerus mengajarkan bangsa ini menjadi dewasa. Bahkan kalau perlu dengan cara kekanak-kanakan sekalipun.
Gus Dur pada akhirnya terkesan menjadi sangat tidak peduli pada cap atas dirinya di masa lalu, maka kini maupun mungkin saja di masa datang. Di situ letak kontroversi. Dikritik habis-habisan tapi pada saat yang sama dipuji habis pula.
Sekarang Gus Dur terkesan sangat berseberangan dengan anak-anak muda NU. Di kalangan anak-anak muda non politik(baca: gerakan kultural) Gus Dur serasa begitu jauh untuk dilihat. Sementara bagi kalangan politisi muda NU Gus Dur serasa begitu jauh untuk disentuh.
Diantara kesan itulah saat ini kita sedang berada. Yakni; batas antara keinginan untuk lebih dewasa dan memiliki kemandirian namun pada saat yang sama belum merasa dan atau takut kehilangan.
Sementara di kalangan anak-anak muda NU non politik mulai memikirkan transformasi kepemimpinan pemikiran paska Gus Dur, di kalangan politisi muda NU muncul kecenderungan pergantian kepemimpinan politik paska Gus Dur. Namun di antara kedua kelompok ini ada kecenderungan sulitnya mempertemukan kedua kepentingan itu. Terlihat ada tarik-menarik. Saling sikut. Malu-malu. Terlepas dari semua hal tentang Gus Dur yang kita bicarakan ini, jangan-jangan persoalan paling mendasar justru ada pada diri kita (anak-anak muda NU).
Dari sini penulis hendak melihat bahwa watak kita yang paling kelihatan bukan berasal dari sifat dasar jam’iyyah (organisasi) tapi lebih kepada jama’ah (gerombolan).
KAUM MUDA NU BERSATULAH
Beberapa tahun lalu di kalangan anak-anak muda NU sempat muncul wacana diaspora. Secara sederhana keinginan untuk menyebar di berbagai aktivitas dan jaringan. Namun pada satu titik dan masa berusaha kembali ke rumah bersama: NU. Hanya saja, rumah ini pun di usianya yang ke 82 tahun belum menjamin keteduhan dan kenyamanan. Di banyak kesempatan, organisasi ini cenderung lebih politis dari partai politik manapun.
Seiring dengan UU otonomi daerah dan UU Pemilihan Kepala Daerah, jabatan sebagai ketua tanfidziyah misalnya, menjadi sangat diminati. Sebabnya, posisi itu dapat dengan mudah dipakai sebagai jembatan penghubung. Naik kelas dari hanya mengurusi organisasi dan pesantren menjadi seolah-olah mengurusi hajat hidup orang banyak. Tetapi, gaya seperti ini juga menurut penulis tidaklah keliru. Kalau boleh kita melihat di mana letak kekeliruannya, barangkali dapat dilihat dari terdorongnya anak-anak muda NU ke wilayah yang belum sepenuhnya mereka sadari.
Akibat dari kecenderungan ini melahirkan situasi dan sikap mental permisif dan pragmatis di kalangan anak-anak muda NU. Dalam pandangan penulis, rasanya hampir sebagian besar anak-anak muda NU apabila ditanya cita-citanya, mungkin akan menjawab menjadi politisi sebagai pilihannya. Barangkali pula penulis termasuk di antara kelompok yang sebagian besar itu. Sekali lagi, mengapa bisa begitu? Apakah yang salah?
Barangkali penting sekali waktu ada semacam pertemuan lintas sektoral yang mencoba menyatukan visi di kalangan anak-anak muda NU. Bukan pertama-tama untuk mencari pola-pola keseragaman, tetapi mencoba untuk belajar mengenal prosesnya dan memaknainya dalam bingkai kerja-kerja kita di sektor masing-masing. Rasanya mudah dikatakan tapi barangkali mudah pula jika kita mau melakukannya. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment