Karib saya, mu’allim Husni (M. Husni Thamrin), Betawi asli Pondok Pinang adalah tipe seorang agamawan yang ketat tapi longgar, longgar tapi ketat. Seperti mu’allim Syafi’i (Alm.) gurunya, tokoh kita ini juga pemegang tradisi fiqh yang sangat kental. Khas orang Betawi yang begitu suka dengan simbol. Tapi juga, pengaruh pandangan sufisme melekat dalam dirinya.
Mu’allim Husni ini karib saya waktu meguru di sebuah pesantren di bilangan Jakarta Selatan. Kepribadiannya begitu sederhana, namun pandangan keagamaannya tidaklah sesederhana kepribadiannya. Saya menaruh harapan besar kepada karib saya ini. Belum ada tokoh ulama Betawi yang begitu dihormati seperti mu’allim Syafi’i. Kelak, dan mudah-mudahan do’a saya ini terkabul, karib saya itu pelan-pelan dapat menggantikan peran gurunya.
Terakhir saya ketemu karib saya itu dalam suatu kesempatan di tengah-tengah agenda kerja saya di Jakarta. Bersama seorang teman, Lukmanul Hakim, doktor muda lulusan Australia yang sampai hari ini belum beristri, saya menggoda karib saya itu. “Ustadz,” begitu saya memanggilnya. “Gimana nih, kapan kita jalan bareng, nyanyi-nyanyi lah,” kataku. “Boleh,” katanya. “Tapi ada ga yang memberi garansi kepada saya tidak mati di tempat karaoke,” sambungnya.
Saya tertawa terbahak-bahak. Luar biasa karib saya ini. Menampar saya persis di muka. Tanpa basa-basi. Tangkas dan mengena betul. “Soal garansi itu gampanglah,” kata saya. “Tapi, ustadz maukan?”, tanya saya. Seperti setan saja saya ini. Membujuk seorang mu’allim untuk sebuah kegiatan yang belum pernah dilakukannya. Untuk menghormati teman, mu’allim kita ini tidak bisa menolak.
Pergilah kami ke sebuah tempat karaoke (family karaoke) di bilangan Permata Hijau. Bertiga kami seperti berlomba menampilkan bakat masing-masing. Sebetulnya bukan karaokenya yang menarik. Tapi, diskusi sepanjang perjalanan dari pergi sampai pulang, di tengah kemacetan Jakarta itulah yang sangat mengesankan.
Sebuah reuni yang menyenangkan. Bertemu dengan karib setelah lama tidak bersua. Pasti di antara kami menyimpan pertanyaan sendiri-sendiri. Wah beda banget ya sekarang. Wah lo sekarang jauh banget berubahnya. Aha... tapi tidak ada satu pun keluar kata-kata itu. Pertemuan kami bertiga sebenarnya terlalu serius untuk disebut sebagai reuni.
Di antara kami selalu ada perbedaan cara pandang atas sesuatu. Seperti karib saya, mu’allim Husni yang selalu bicara soal muru’ah. Lukman yang sibuk dengan urusannya mencari istri di sela-sela perhatiannya terhadap naskah-naskah klasik ulama nusantara. Sedang saya mencoba berargumen tentang etika sebagai landasan moral sosial dalam membangun peradaban manusia. Ce ile...tinggi banget!
Soal muru’ah sempat menjadi topik diskusi menarik kami bertiga. Mu’allim kita begitu ketat menjaganya. Suatu hari saya akan menulis topik ini secara lebih serius. Setidaknya diskusi kami soal ini cukup toleran. Pada sisi tertentu kami saling berdialog. Saling membuka ingatan dan mengeluarkan refleksi masing-masing. Semakin berdialog dengan mu’allim Husni, semakin besar respek saya padanya. Sekali lagi, saya berdo’a untuknya: Ingat ustadz! Mu’allim Syafi’i belum muncul penggantinya. Mungkinkah kelak kamu, karibku....
Mu’allim Husni ini karib saya waktu meguru di sebuah pesantren di bilangan Jakarta Selatan. Kepribadiannya begitu sederhana, namun pandangan keagamaannya tidaklah sesederhana kepribadiannya. Saya menaruh harapan besar kepada karib saya ini. Belum ada tokoh ulama Betawi yang begitu dihormati seperti mu’allim Syafi’i. Kelak, dan mudah-mudahan do’a saya ini terkabul, karib saya itu pelan-pelan dapat menggantikan peran gurunya.
Terakhir saya ketemu karib saya itu dalam suatu kesempatan di tengah-tengah agenda kerja saya di Jakarta. Bersama seorang teman, Lukmanul Hakim, doktor muda lulusan Australia yang sampai hari ini belum beristri, saya menggoda karib saya itu. “Ustadz,” begitu saya memanggilnya. “Gimana nih, kapan kita jalan bareng, nyanyi-nyanyi lah,” kataku. “Boleh,” katanya. “Tapi ada ga yang memberi garansi kepada saya tidak mati di tempat karaoke,” sambungnya.
Saya tertawa terbahak-bahak. Luar biasa karib saya ini. Menampar saya persis di muka. Tanpa basa-basi. Tangkas dan mengena betul. “Soal garansi itu gampanglah,” kata saya. “Tapi, ustadz maukan?”, tanya saya. Seperti setan saja saya ini. Membujuk seorang mu’allim untuk sebuah kegiatan yang belum pernah dilakukannya. Untuk menghormati teman, mu’allim kita ini tidak bisa menolak.
Pergilah kami ke sebuah tempat karaoke (family karaoke) di bilangan Permata Hijau. Bertiga kami seperti berlomba menampilkan bakat masing-masing. Sebetulnya bukan karaokenya yang menarik. Tapi, diskusi sepanjang perjalanan dari pergi sampai pulang, di tengah kemacetan Jakarta itulah yang sangat mengesankan.
Sebuah reuni yang menyenangkan. Bertemu dengan karib setelah lama tidak bersua. Pasti di antara kami menyimpan pertanyaan sendiri-sendiri. Wah beda banget ya sekarang. Wah lo sekarang jauh banget berubahnya. Aha... tapi tidak ada satu pun keluar kata-kata itu. Pertemuan kami bertiga sebenarnya terlalu serius untuk disebut sebagai reuni.
Di antara kami selalu ada perbedaan cara pandang atas sesuatu. Seperti karib saya, mu’allim Husni yang selalu bicara soal muru’ah. Lukman yang sibuk dengan urusannya mencari istri di sela-sela perhatiannya terhadap naskah-naskah klasik ulama nusantara. Sedang saya mencoba berargumen tentang etika sebagai landasan moral sosial dalam membangun peradaban manusia. Ce ile...tinggi banget!
Soal muru’ah sempat menjadi topik diskusi menarik kami bertiga. Mu’allim kita begitu ketat menjaganya. Suatu hari saya akan menulis topik ini secara lebih serius. Setidaknya diskusi kami soal ini cukup toleran. Pada sisi tertentu kami saling berdialog. Saling membuka ingatan dan mengeluarkan refleksi masing-masing. Semakin berdialog dengan mu’allim Husni, semakin besar respek saya padanya. Sekali lagi, saya berdo’a untuknya: Ingat ustadz! Mu’allim Syafi’i belum muncul penggantinya. Mungkinkah kelak kamu, karibku....
No comments:
Post a Comment